Geger Walisongo Menghadapi Perlawanan Perguruan Lemah Abang

Di bawah rerimbunan pohon kamboja, makam itu tampak menonjol dari kejauhan. 


Agaknya memang sengaja dibangun dalam kapasitas keistimewaan tersendiri, karena bentuknya seperti makam raja-raja Jawa. 

Lokasi makam itu juga diberi benteng tembok sebagai pembatas dari makam-makam lainnya. Itulah makam Sunan Panggung atau orang Tegal menyebutnya Mbah Panggung.

Makam Mbah Panggung terletak di wilayah Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Siapakah sebenarnya Mbah Panggung atau Sunan Panggung itu?‎

Sunan Panggung atau Pangeran Malang Sumirang, yang memiliki nama asli Raden Djoko Djadug.  Beliau putra ke 43 dari Prabu Browijoyo ke 5 dengan Permaisuri Dewi Murdaningrum, seorang putri dari Kerajaan Campa (ada yang menyebutkan Kamboja atau Thailand saat ini.

Berdasarkan penelusuran sejarah yang berhasil dirangkum, disebutkan bahwa Sunan Panggung masih memiliki hubungan darah dengan Raden Patah, Raja pertama Kesultanan Demak Bintoro. Dimana, Raden Patah adalah putra Prabu Kertabumi dengan Permaisuri putri Kerajaan Campa, Dewi Murdaningsih

Saat muda, Pangeran Panggung pernah berguru pada Syeh Siti Jenar. Raden Patah yang mengetahui hal ini, kemudian menasehati Adiknya agar meninggalkan ajaran yang dinilai menyimpang dari syariat Islam, utamanya di bidang tauhid itu. Raden Patah menyarankan agar Pangeran  belajar agama kepada Sunan Kalijaga yang beraliran ahlusunnnah wal jama’ah.
Kepribadian Sunan Panggung sangatlah unik. Beliau memiliki lelewa (tingkah laku) mirip ayah angkatnya yang menjadi wali nyentrik Sunan Kalijaga. Dan berguru kepada Syeikh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, dan sangat menghormati ayahandanya dan gurunya yang terkenal wali nyentrik di tanah Jawa. 

Semula beliau dikirim Raden Patah ke pengging untuk menjadi mata-mata. Namun beliau justru tertarik dengan ajaran-ajaran Syeikh Siti Jenar dan menjadi pengikut setianya.

Karena sikapnya itu ia mendapatkan peringatan keras dari dewan Wali Songo, kecuali Gurunya sendiri Sunan Kalijaga, yang tetap membiarkan murid dan anak angkatnya mengikuti Syeikh Siti Jenar (hal ini bisa di maklumi karena paham teologi-sufi Sunan Kalijaga dan Syeikh Siti Jenar sama. Hanya penyampaiannya saja yang berbeda). 

Peringatan keras dari pihak Demak dan Dewan Wali tidak digubris oleh Sunan Panggung. Karena dalam hal ini beliau sudah membuktikan sendiri melalui laku dan perjalanan spiritualnya, tentang ajaran Syeikh Siti Jenar dan bisa membedakan dengan ajaran syar'iah pada waktu itu. 

Yang hanya menuntut diberlakukan syar'i dan maknanya. Maka Akidah yang beliau ikuti adalah penyatuan dengan Tuhan/ilmu makrifat yang sesuai dengan ajaran Syeikh Siti Jenar. Syariat yang beliau jalankan adalah sholat daim, dan cara penyebaran ajarannya adalah secara terbuka, untuk umum, tidak ada yang di rahasiakan.

 Dan tidak menganggap orang lain lebih bodoh darinya, sehingga setiap orang selalu bebas untuk memperoleh kesempatan mendapat ilmu agama jenis apapun.

Sampailah suatu saat, terjadinya tragedi dihukumnya guru agungnya Syeikh Siti Jenar. Sunan Panggung marah besar. Sebab Para Wali menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak berdosa. 

Untuk itu ia mengatur strategi dan siasat, setelah belajar dari dua kasus pendahulunya yang dihukum mati yaitu Ki Ageng Pengging dan gurunya Syeikh Siti Jenar.‎

Sunan Panggung mendirikan Paguron Lemah Abang di Pengging. Dan beliau berhasil merekrut siswa yang sangat banyak. Bahkan Kyai yang semula di kader oleh Dewan Wali Songo yang di doktrin untuk menyingkirkan ajaran Syeikh Siti Jenar, justru menjadi murid setia Sunan Panggung.

Selain itu, Sunan Panggung berprilaku aneh cara memperingatkan Dewan Wali Songo. Sebagai balasan atas Dewan Wali Songo. Sunan Panggung kemudian melakukan tindakan balasan yang terhadap Dewan Wali Songo. 

Dengan cara memelihara dua ekor anjing yang di peliharanya sejak kecil, yang di beri nama ki tokid (tauhid) dan ki iman. Kemudian anjing itu di ajak berlari-lari mengelilingi Masjid Jami', sambil bergurau.

Tindakan ini di samping menggambarkan pendapat al Hallaj. Agar nafsu hewan di buang ke luar dari jiwa manusia. Juga sekaligus menunjukkan kepada Dewan Wali Songo dan penguasa Demak, bahwa anjing tersebut juga beriman dan bertauhid kepada Allah.

 Dan anjing tidak menjalani kehidupan kehendaknya sendiri seperti kebanyakan manusia. Yang di balut dengan alasan keagamaan. Padahal agama itu hanya berdasarkan tafsir nalar dan dasar hukum syara' yang dhohir.

Karena perguruan Sunan Panggung di anggap membahayakan oleh Dewan Wali dan Demak khususnya. Karena ajaran yang dulu pernah dilarang. Kini malah di hidupkan kembali. Untuk itu penguasa dan Dewan Wali mengadakan sidang untuk mengambil tindakan untuk Sunan Panggung.

 Dari hasil sidang di sepakati bahwa pemanggilan kepada Sunan Panggung harus dengan cara halus dan diundang untuk memecahkan masalah pemerintahan. Jika sudah hadir, maka Dewan Wali membujuk, untuk menutup perguruannya dan bergabung dengan Dewan Wali.

 Termasuk mematuhi konsep keagamaan yang sudah di gariskan kerajaan Demak. Selain itu juga di sepakati, agar penghukuman terhadap Sunan Panggung jangan sampai memunculkan kehebohan sebagaimana pendahulunya. Yakni agar Sunan Panggung di bakar hidup-hidup, dan tempatnya langsung disediakan di alun-alun sebelum Sunan Panggung datang.

Sunan Panggung diundang oleh pihak kerajaan. Dan akhirnya Sunan Panggung menyanggupi undangan tersebut bersama utusan dari pihak Demak. Sunan Panggung beragumentasi, bahwa inilah saat yang tepat untuk mengkritik model dan materi dakwah, serta arogansi agama syar'i yang di jalankan pihak Demak.

Sunan Panggung datang ke Demak di sertai dua anjingnya. Sesampai di alun-alun, ia melihat tumpukan kayu yang di siram minyak. Sunan Panggung sudah menduga siasat penguasa Demak yang akan di lakukan padanya. Namun Sunan Panggung sudah berketatapan hati untuk menghadapi apapun yang terjadi.

Setelah matahari sebesar kemiri condong ke barat, Gunung Muria merendah, Alun-alun Demak menjulang, orang-orang masih berdesakan. 

Mereka tak percaya sesuatu yang terlihat oleh mata, Malang Sumirang raganya tidak tersentuh oleh amukan api.

Sang tanur menjadi mahligai elok berhias permai dikelilingi pertamanan. Bertabur kembang lengkap dengan hamparan mutiara. Busana dari surga yang teramat wangi harum semerbak laksana busana Nabi Ibrahim yang diturunkan dari surga.

"Lihat! Sunan tidak terbakar. Bisa mati di dalam hidup, dan hidup dalam mati."

"Memancar cahaya kemilau dan bau harum semerbak."

Orang-orang berguman dalam hati, Malang Sumirang diuji dengan dibakar hidup-hidup, tetapi terus hidup.

Dalam semarak amukan api, Malang Sumirang menulis suluk dengan pembuka Dhandhanggula. 

Malang Sumirang telah menaiki burung Sadrah karena begitu mendalamnya rindu dalam pencarian ilmu kesejatian hidup yang sempurna.

Malang Sumirang nyata lahir batinnya keliputan sanyata wali, mulia pikirannya tiada batas jadi barang yang diinginkannya sempurna sampai hakikat rasa puncaknya ilmu. Ilmu sejati rasa yang meliputi rasa. Rasa yang sejati. Sejatinya rasa. 

Bukan rerasan yang diucapkan, bukan rasa yang ke enam, bukan pula rasa yang tercecap di lidah. Bukan rasa yang terbersit di hati, bukan rasa yang ciptakan, bukan pula rasa yang dirasakan tubuh. Bukan rasa yang dirasakan suara dan bukan pula rasa kenikmatan dan derita sakit. Sejatinya rasa yang meliputi rasa, rasa pusarnya rasa.

Para wali yang telah menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup, hanya terbengong. Sunan Kudus, kemenakannya, menjadi limbung. Bingung melihat kenyataan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

 Para wali terlanjur menghukum Malang Sumirang, karena dituduh telah menyebarkan ilmu sesat. Gemar memelihara anjing dan dilatih untuk menurut sampai mengerti bahasa manusia. Tidak saja menghindari shalat di masjid, malah sering mencemari masjid membawa anjing piaraan, binatang yang sangat jorok, liurnya najis.

Jalan yang ditempuh Malang Sumirang "jalan kegilaan", Tariq Majnun Rabbani. Gila karena tergila-gila kepada Tuhan. Linglang-linglung lupa daratan, terbenam senang dalam nikmat dahsyat. Kegilaannya itu pada mulanya ditujukan oleh ketidak aktifannya sendiri, sikap acuh tak acuh pada hukum.

Para wali menunduh Malang Sumirang telah menyingkir dari ajaran agama, tata syariat dilalaikan. Para santrinya malah menyebutnya, Sunan Panggung. 

Sunan yang hidup di tengah hutan dengan pohon-pohon berbatang besar, pang-gung atau cabang besar. Sunan, Susuhunan, Susunan, atau Sinuhun, "Dia yang Dijunjung". Gelar ini sesungguhnya khusus untuk hierarki wali Islam yang memiliki wilayah perdikan dan sebutan bagi penguasa tertinggi Mataram.

Para santrinya sangat menghormati, tunduk dengan segala perintah dan mengikuti semua ajarannya. Para santri diajari mencari kehidupan yang sempurna, kesempurnaan yang benar-benar sempurna. "Manusia tidak lain hanyalah jasad-jasad mati yang dipenuhi oleh nafsu lauwamah, amarah, sufiah dan mutmainah. 

Kita lepaskan nafsu-nafsu itu karena di tengah-tengah nafsumu bertakhta sirr atau rahasia yang tersembunyi, roh dalam jiwa, kesempurnaan yang benar-benar sempurna."

"Inggih, Sunan." "Wayang dan bayangan harus menyatu dalam satu jiwa. Roh dalam jiwa memainkan mahkluk-makhluk atas kehendak-Nya."

"Inggih, Sunan." "Sejatinya yang memerintah kita bukanlah tubuh kita, tetapi roh dalam jiwa."

"Inggih, Sunan." "Seperti Kresna yang memerintah kerajaan, hakikatnya bukan Kresna. Tetapi Kresna Dwarawati. Kresna yang di dalamnya bertakhta roh Wisnu. Kresna titisan Wisnu."

"Inggih, Sunan." "Bebaskan roh kalian dari ikatan hukum-hukum yang menghalangi kebebasan roh yang menuju dan menyatu dengan Tuhan."

"Inggih, Sunan." "Hakikat hidup abadi baru dimulai sesudah mati."

Mendengar kalimat terakhir, para santri secara serentak tiba-tiba memukuli dirinya sendiri. Menyiksa dirinya sendiri, membentur-benturkan kepalanya di sembarang tempat sambil berteriak, "Aku ingin mati....aku ingin mati!" "Aku ingin bunuh diri!"

Desa Ngundung, daerah tempat tinggal Malang Sumirang, menjadi gempar. Para santri Malang Sumirang mencari mati. Mencari orang yang mau menolong untuk membunuhnya.

 Semua orang diteror agar penduduk menjadi marah, ini suatu jalan untuk mencari kematian.

Melihat tingkah santri-santrinya, Malang Sumirang menjadi bingung, dia berlarian mengejar dan memanggil para santri, sambil berteriak, "Bunuh diri dosa besar!" Teriakan Malang Sumirang, menghentikan polah dan perilaku para santri.


Secara serentak para santri menghambur mendekati Malang Sumirang dan berlutut mengelilingi. Para santri merunduk dan terdiam, suasana menjadi hening. Beberapa saat setelah larut dalam diam, Malang Sumirang mengajak santri-santri melepaskan roh dari badannya.

Kesengsaraan dunia ini tidak lain suatu kegilaan, orang-orang mencari kebutuhan badaniah tanpa memperhatikan kebutuhan rohani. Orang-orang mencari kenikmatan, namun hanya penderitaan yang dijumpai. Manusia bingung karena tidak mengenal dirinya sendiri, karena dijadikan buta oleh hawa nafsu. Mencari ilmu suci tidak mungkin diperoleh dengan alat panca indra, karena sifatnya yang kotor, najis dan palsu.

Kebaruan adalah kepalsuan, kekotoran dan kenajisan, yang segera hancur bersama-sama tibanya ajal. Hidup sesudah lahir adalah kebaruan maka itu palsu, najis, dan kotor. 

Hidup sesudah kelahiran adalah kematian yang sesungguhnya. Kedaaan kematian itulah yang membuat manusia tidak bisa bebas dari nafsu, kebohongan, kebutuhan kekuasaan, makan, minum, bahkan shalat, puasa, zakat, haji.

Kembalinya manusia ke asal dari mana ia lahir, sesudah ajal tiba nantilah hidup yang sesungguhnya, ketika manusia tidak lagi membutuhkan apa pun, termasuk keinginan, karena keinginan adalah awal dari kesengsaraan. 

Di mata Malang Sumirang para wali telah keliru memanjakan pemerintahan yang tidak adil, menindas dan korup. Makna tidak memiliki kekayaan apa-apa dalam bahasan dan perenungan tanpa adanya pemikiran.

Syeikh Siti Jenar, sebuah perlawanan terhadap para wali yang mendukung Demak. Maka oleh penguasa ajaran Syeikh Siti Jenar dianggap bukan hanya sesat tetapi juga mengganggu ketenteraman masyarakat dan mengancam stabilitas kerajaan Raden Patah. Karena gagal membujuk, atas nama Raja Demak, Dewan Agama menetapkan hukuman mati bagi Siti Jenar.

"Berbadan roh". Malang Sumirang berguman seperti mendengung. Para santri menirukan apa yang diucapkan Malang Sumirang secara bersama dan berulang seperti berzikir.

"Berbadan roh" "Aku bukan Siti Jenar, aku Malang Sumirang, kesempurnaan yang benar-benar sempurna. Para wali mengajarkan hukum syar'i, tetapi tidak memahami lambang-lambang.

"Para santri tenggelam dalam ekstase kegilaan, jagad suwung, angin seperti berhenti berembus lari ke awang-awang dan uwung-uwung. Jagad menjadi pertapaan sunyata, bumi resah! Malang Sumirang mencari ilmu kesejatian.

Berguru pada Sunan Giri Prapen, tatkala diajari ilmu sejati, usianya baru tujuh belas tahun. Sejak saat itu sering menyiksa raga, bertapa.

Malang Sumirang mengaku berbadan rohani. Para wali menyebut Malang Sumirang sebagai orang yang tidak senonoh, tak pantas, dan anarkis, bahkan teroris, menjadi simbol antitatanan.

Pengakuan Malang Sumirang dan perilaku santri-santrinya membuat para wali geram. 

Para wali menuduh Malang Sumirang mewariskan suluk liar mengingkari semua tatanan atas nama anarki jalan kegilaan. Menyingkap tabir rahasia, menyurat yang tersembunyi. Setelah mempertimbangkan pendapat para wali Sultan Demak, memutuskan Malang Sumirang dihukum dengan dibakar, pati obong, di Alun-alun Demak.

Mendengar keputusan majelis para wali Malang Sumirang tidak menampakan ketakutan, bahkan menantang keponanakannya, Sunan Kudus, untuk segera menyalakan unggun. Sebelum berjalan menuju api pembakaran, Malang Sumirang minta disediakan tinta dan kertas dua bendel.

Sultan Demak dan para wali semakin bingung, permintaan Malang Sumirang sangat aneh. Malang Sumirang berjalan menuju api pembakaran, tidak ada kata lain yang terucap dari mulutnya selain kata, kebenaran.

Api membumbung ke angkasa, Malang Sumirang bergegas naik ke atas unggun dan dua anjingnya yang setia mengikuti, terjun ke dalam api.

 Matahari semakin mengecil, Gunung Muria kembali menyembul, angin bergegas dari awang-awung dan uwung-uwung melintasi Alun-alun Demak. Kobaran api semakin menggila, Malang Sumirang tidak tersentuh amukan api.

"Lihat! Di dalam api dengan enaknya Sunan menulis. Api terus menjilat, menyala lama namun Sunan tetap tenteram seakan bernaung di kolam bening. Raganya tak mempan amukan api."

"Ya, seperti Sinta...” Seperti Nabi Ibrahim..." Orang-orang terperanjat dan mundur beberapa langkah melihat dua sosok keluar dari amukan api.

 Dua anjing Malang Sumirang keluar dari unggun membawa lembaran kertas yang telah tertulis Suluk Seh Malang Sumirang.

Lembaran kertas itu dibagikan pada semua yang ada di Alun-alun Demak, termasuk para wali, Sultan Demak dan para petinggi kerajaan lain.

 Beberapa saat ketika orang-orang belum selesai membenahi keterperanjatannya, Malang Sumirang keluar dari api unggun. Seluruh tubuh dan baju yang dikenakan tidak ada tanda-tanda tersentuh oleh jilatan api. Orang-orang semakin takjub, berusaha menahan kedipan mata.

"Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahami karena hanya sibuk menghitung dosa-dosa kecil yang diketahui.

 Tentang hal kufur-kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan. Sembah puji puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran. 

Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa-dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur-kafir yang dijauhi justru membuatnya bingung. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Mencipta dan Maha Memelihara".

Suluk Seh Malang Sumirang tercipta dari amukan api yang tiada mampu menyentuh jasad Malang Sumirang. Suluk sang sufi gila, sosok antitatanan yang tidak terjangkau poros kekuasaan. 

Malang Sumirang mewariskan suluk liar mengingkari semua tatanan. Menyingkap tabir rahasia, menyurat yang tersembunyi. Suluknya lebih tajam dari pedang Sultan Demak...

"...Manusia, sebelum tahu maknanya Alif, akan menjadi berantakan... Alif menjadi panutan sebab huruf, Alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah.

 Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif lapat. Sebelum itu jagad ciptaan-Nya sudah ada. Lalu Alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. 

Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. Alif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenis ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syariat. Allah itu penjabarannya adalah Zat yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. 


Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti Alif. Allah itulah adanya. Alif penjabarannya adalah permukaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat.

 Adapun melihat Zat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang-benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian.

 Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan zat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut zikir sejati, laa ilaaha illallah."

Sultan Demak dan para wali tercengang, membaca keelokan Suluk Malang Sumirang, elok susah untuk kisahkan. Sultan Demak membisik pada Sunan Kudus menyarankan Malang Sumirang, untuk menyingkir dan menjauh dari Negeri Demak.

 Dengan langkah ragu, Sunan Kudus mendekat Malang Sumirang. Berusaha menyembunyikan Wajahnya yang nampak pucat, Sunan Kudus berkata sambil menunduk, "Paman telah terbukti benar sungguh benar tanpa batas di dunia tiada tara di seluruh ciptaan. 

.Paman tercipta sempurna, jiwa-raga titis terus tertembus sempurna nyata sunyata. Namun Paman, jagalah derajat agama, hormatilah batasnya, singkirkan kesalahan, patuhlah pada syariat untuk menjaga makna.''
Dalam tatanan yang menata negeri aturan agama bertakhta dengan syariat. Lebih baik Paman jauh dari negeri. Jangan sampai membawa kekacauan dengan pembangkangan. 

Menguraikan ikatan menjarangkan pagar, memecahkan baris, merobohkan bendera. Kemanapun Paman pergi, padepokan mana yang pantas ditempati, tempat keramat mana yang menjadi pilihan, adalah kewajiban negeri melengkapi apa yang harus dilengkapi.

"Malang Sumirang tak gimir dengan tawaran pertapa yang mewah. Malang Sumirang memilih pergi ke hutan angker, Kalampisan, tempat wingit, sunyi, jauh dari manusia.

 Para wali hanya bisa menggelengkan kepala tanpa suara. Matahari telah surup orang-orang hanya terbengong melihat Malang Sumirang meninggalkan Alun-alun Demak. Malang Sumirang pergi meninggalkan teka-teki, sufi gila antitatanan memiliki keberanian yang tak tertundukan oleh kekuasaan. Mengungkap rahasia kesempurnaan yang benar-benar sempurna. Tetapi sejarah selalu berpihak pada penguasa. 


Kisah detik-detik pembakaran 

Detik-detik berikutnya, para abdi dalem mengumpulkan kayu bakar dan tidak lama api berkobar-kobar. Pelaksanaan hukuman pembakaran Sunan Panggung yang terjadi tahun 1452 itu disaksiskan oleh para abdi dalem dan lapirasan masyarakat Bintoro.
Sebelum Sunan Panggung melaksanakan hukuman bakar diri itu, dia meminta restu pada Sulatan Demak agar disediakan ‘nasi tumpeng’. Permintaan itu dikabulkan, akan tetapi setelah nasi itu diberikan, dilempar ke tengah-tengah api yang menyala-nyala. Sertamerta kedua anjing piaraannya memburu masuk ke dalam kobaran api.
Ajib! Kobaran api yang membara, padam dan kedua anjing itu ke luar dari tumpukan kayu dengan selamat dan tidak terluka sama sekali. Para Walisanga dan Sultan Demak menjadi terkesima. 

Di tengah kemasgulan itu, Sultan Demak berkata: “Duh to Dimas sampun nyumerepi ing keh lampah élok; nanging maksih kirang utaminé lamun mboten andika pribadi kang umanjing agni; 

kirang antepipun dèné among asusilih kirik lan tarumpah karo” yang artinya ‘Duh Dimas, sudah kami saksikan peristiwa yang masgul; 

akan tetapi masih belum sempurna kalau bukan paduka pribadi yang masuk ke dalam kobaran api; kurang meyakinkan jika hanya diganti oleh anjing dan nasi tumpeng saja’.

Dengan tenang Sunan Panggung berkata: “Duh Jeng Sultan sampun kuatir, manira pribadi kang umanjing latu” yang artinya: ‘Duh Paduka Sultan, jangan kuatir, kalau saya sendiri yang bakal masuk ke dalam bara api’.

Permintaan pelakskanaan hukuman mati bagi Sunan Panggung pun datang dari adiknya yang tahu bagaimana kesaktian dia. 

Yaitu agar hukuman tersebut dilaksanakan dengan sempurna, dan hendaklah dia sendiri yang menjalankannya.

Permintaan adiknya yang menjadi Ratu Bintoro (Demak) itu dipenuhi juga dengan satu permintaan agar kepadanya diberi kertas dan tinta. Sebab ia hendak menulis sesuatu pedoman agar nantinya dapat diterima dihadirat Tuhan.

Selanjutnya, setelah api dinyalakan kembali oleh Patih Demak, Sunan Panggung mengambil alat tempat duduk dan menaruhnya di tengah-tengah api. Segeralah dia terjun ke dalam api dengan diikuti oleh kedua anjingnya.

Setelah api padam, musnahlah Sunan Panggung berikut kedua anjingnya dengan meninggalkan sebuah suluk (pedoman) yang belakangan dikenal orang dengan nama ‘Suluk Malang Sumirang’. 

Maksud dari sulut tersebut adalah suatu peringatan kepada para orang muda agar jangan buru-buru mengambil keputusan terhadap seseorang yang nampaknya menyalahi segala hukum (Malang Sumirang) dan tidak menurut syareat sebagai kafir dan kufur. Sebab, mungkin orang itu pada hakekatnya lebih berdekatan dengan Tuhan.

Dan akhirnya Sunan Panggung meneruskan perjalananya kearah barat dan kemudian beliau menetap di Tegal.‎