R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burhan terhadap tahun 1728 J atau 1802 M, putra dari RM. Ng. Pajangsworo.
Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang sesungguhnya terkenal bengal.
Sastronagoro sesudah itu mengambil alih inisiatif untuk mengirimnya nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari.
Sebagai putra bangsawan Burham membawa seorang emban bernama Ki Tanujoyo sebagai guru mistiknya. Ternyata, Ronggowarsito enggan belajar ilmu agama. Ia lebih puas berkawan dengan para warok, dan mempelajari ilmu kesaktian.
Dihukum Makan Pisang
MELIHAT kecenderungan itu, Tanujoyo mengajari Ronggowarsito berbagai ngelmu. Santri lain menjadi tertarik, dan Kasan Besari marah besar. Keduanya diusir dari pesantren.
Mereka lantas berkelana di kawasan Jawa Timur. Kepergian Ronggowarsito dan Tanujoyo membikin bingung Kasan Besari. Ia lantas mengutus muridnya bernama Kromoleyo.
Kromoleyo punya akal untuk menemukan Ronggowarsito. Yaitu dengan main rodat, kesenian tradisional berwujud sendratari.
Benar juga: di sebuah pasar di Madiun, ia berjumpa Ronggowarsito. Ketiganya lantas balik ke pesantren Kasan Besari. Sang kiai lantas mendidiknya dengan keras.
Dalam Babad Ronggowarsito dinukilkan, Kiai Kasan Besari menghukum Ronggowarsito dengan duduk di atas sebatang bambu di atas telaga dekat pesantren sepanjang 40 hari. Sehari-harinya cuma makan sebuah pisang.
Setelah hukumannya selesai, barulah Ronggowarsito diberi ilmu agama. Tanda- sinyal ia akan menjadi orang hebat terasa tampak.
Ronggowarsito sampai diangkat sebagai badal, atau wakil Kasan Besari di pesantren. Pada 1815, Ronggowarsito pulang ke rumah, yang dua tahun ditinggalkannya. Ia segera dikhitan.
Bekal ilmu dari Kasan Besari itu sesudah itu ditambahi kakeknya, Sastronegoro, dengan ilmu sastra, serta bahasa Jawa kuno dan Kawi. Dari Panembahan Buminoto, Ronggowarsito juga mereguk ilmu spiritual.
Melihat kepandaian sang anak didik, Panembahan Buminoto mengusulkan kepada Paku Buwono V, sehingga Ronggowarsito, 19 tahun disaat itu, diberi pekerjaan layak di keraton.
Usul itu ditolak. Ronggowarsito sendiri terhadap sementara itu udah menikah dengan Raden Ayu Gombak. Karena tak punya pekerjaan, Ronggowarsito mengajak Tanujoyo mengembara lagi, dan meninggalkan istrinya.
Sampai ke Bali, di tiap-tiap daerah yang punya"orang sakti'' Ronggowarsito tak lupa berguru. Setelah pemerintahan dipegang Paku Buwono VI, Ronggowarsito diminta lagi ke keraton sebagai juru tulis, terhadap 1822.
Tak lama sesudah itu berkecamuklah Perang Diponegoro, 1825-1830. Ronggowarsito berpihak terhadap Pangeran Diponegoro.
Ketegangan politik nampak pada Belanda dan Paku Buwono VI, yang diakui pro-Diponegoro. Sampai pada akhirnya Paku Buwono VI dibuang ke Ambon, dan wafat di sana terhadap 1849. Nasib yang kurang lebih mirip dialami ayah Ronggowarsito, yakni Ronggowarsito II.
Di era kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang dapat menuangkan suara era di dalam serat-serat yang ditulisnya.
Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulisSerat Jayengbaya disaat tetap menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko.
Dalam serat ini dia sukses menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya perihal pekerjaan. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal perihal segi kehidupan.
Pemikirannya perihal dunia tasawuf tertuang diantaranya di dalam Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalamSerat Kalatidha, dan berlebihan beliau di dalam dunia ramalan terkandung di dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan terhadap Serat Sabda Jati terkandung sebuah ramalan perihal sementara kematiannya sendiri.
Pertama mengabdi terhadap keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat Jajar. Pangkat ini meembuatnya menyandang nama Mas Panjangswara., adalah putra sulung Raden Mas Tumenggung Sastranegara, pujangga kraton Surakarta.. Semasa kecil beliau diasuh oleh abdi yang amat kasih bernama Ki Tanudjaja.
Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita punya jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik).
Ki Tanudjaja merubah kepribadian Ranggawarsita di dalam penghargaannya kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi makin lama bijaksana.
Menjelang dewasa (1813 Masehi), ia pergi berguru kepada Kyai Imam Besari dipondok Gebang Tinatar. Tanggung jawab sepanjang berguru itu seluruhnya diserahkan terhadap Ki Tanudjaja.
Ternyata udah lebih dua bulan, tidak maju-rnaju, dan ia amat ketinggalan dengan kawan seangkatannya. Disamping itu, Bagus Burham di Panaraga membawa perilaku buruk yang berwujud kesukaan berjudi.
Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500 reyal habis bahkan 2 (dua) kudanyapun udah dijual. Sedangkan kemajuannya di dalam belajar belum nampak., Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanudjaja sebagai pamong yang selamanya menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu.
Akhirnya Bagus Burham dan Ki Tanudjaja dengan diam-diam menghilang dari Pondok Gebang Tinatar menuju ke Mara. Disini mereka tinggal di tempat tinggal Ki ngasan Ngali saudara sepupu Ki Tanudjaja. Menurut rencana, dari Mara mereka akan menuju ke Kediri, untuk menghadap Bupati Kediri Pangeran Adipati cakraningrat.
Namun atas arahan Ki Ngasan Nga1i, mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan lumayan menanti kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja, sebab sang Adi pati akan mampir di Madiun di dalam rangka menghadap ke Kraton Surakarta.
Selama menanti kehadiran Adipati Cakraningrat itu, Bagus Burhan dan Ki Tanudjaja berjualan 'klitikan' (barang bekas yang beraneka macam yang mungkin tetap dapat digunakan). Di pasar inilah Bagus Burham berjumpa dengan Raden kanjeng Gombak, putri Adipati Cakraningrat, yang kelak menjadi isterinya.
Kemudian Burham dan Ki Tanudjaja meninggalkan Madiun. Kyai Imam Besari melaporkan moment kepergian Bagus Burhan dan Ki Tanudjaja kepada ayahanda serta neneknya di Solo/Surakarta.
Raden Tumenggung Sastranegara tahu perihal itu, dan menghendaki kepada Kyai Imam Besari untuk turut serta mencarinya. Selanjutnya Ki Jasana dan Ki Kramaleya diperintahkan mencarinya.
Kedua utusan itu pada akhirnya sukses menemukan Burham dan Ki Tanudjaja, lantas diajaknyalah mereka lagi ke Pondok Gebang Tinatar, untuk melanjutkan berguru kepada Kyai Imam Besari.
Ketika lagi ke Pondok, kenakalan Bagus Burhan tidak mereda. Karena kejengkelannya, maka Kyai Imam Besari memarahi Bagus Burham.
Akhirnya Bagus Burham menyesali perbuatannya dan nyata-nyata menyesal atas tindakannya yang kurang baik itu. Melalui sistem kesadaran dan penghayatan terhadap kenyataan hidupnya itu, Bagus Burham tahu perbuatannya dan menyesalkan hal itu.
Dengan kesadarannya, ia lantas mengupayakan keras untuk menebus ketinggalannya dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya, ia juga mengupayakan untuk mencermati keadaan sekitarnya, yang terhadap pada akhirnya justru mendorongnya untuk mengejar ketinggalan di dalam belajar.
Dengan demikian nampak kesadaran baru untuk berbuat baik dan luhur, sesuai dengan kemampuannya.
Sejak sementara itu, Bagus Burhan belajar dengan lancar dan cepat, sehingga Kyai Imam Besari dan teman-teman Bagus Burhan menjadi heran atas kemajuan Bagus Burham itu.
Dalam sementara singkat, Bagus Burhan dapat melebihi kawan-kawannya. Setelah di Pondok Gebang Tinatar dirasa cukup, lantas lagi ke Surakarta, dan dididik oleh neneknya sendiri, yakni Raden Tumenggung Sastranegara.
Neneknya mendidik dengan berbagai ilmu ilmu yang amat berfaedah baginya. Setelah dikhitan terhadap tanggal 21 Mei l8l5 Masehi, Bagus Burham diserahkan kepada Gusti Panembahan Buminata, untuk mempelajari bidang Jaya-kawijayan (kepandajan untuk menolak suatu tingkah laku jahat atau membuat diri seseorang merniliki suatu kekuatan yang melebihi orang kebanyakan),
kecerdas-an dan kekuatan jiwani.Setelah tamat berguru, Bagus Burhan dipanggil oleh Sri Paduka PB.IV dan dianugerahi restu, yang terdiri dari tiga tingkatan, yakni :
Pertama : Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk menangani pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan membuat Bagus Burham punya jiwa halus, teguh dan berkemauan keras. Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk menangani pubersitas.
Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan membuat Bagus Burham punya jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk menangani pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan membuat Bagus Burham punya jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
Kedua : Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas.
Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar perihal sastra Jawa.
Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar perihal sastra Jawa.
Ketiga : Pembentukan rasa harga diri, keyakinan diri dan keteguhan iman diperoleh dari Gusti Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini, diperoleh pula ilmu Jaya-kawijayan, kesaktian dan kanuragan. Proses inilah sistem pendewasaan diri, sehingga siap di dalam terjun kemasyarakat.
dan siap menghadapai segala macam percobaan dan dinamika kehidupan.Bagus Burham secara kontinyu mendapat pendidikan lahir batin yang sesuai dengan pertumbuhan sifat-sifat kodratiahnya, bahkan ditambah dengan pengalamannya terjun mengembara ketempat-tempat yang dapat menggernbleng pribadinya.
Seperti pengalaman ke Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali. Disamping gemblengan orang-orang tersebut diatas, terkandung pula bangsawan keraton yang juga berikan stimulus kuat untuk meningkatkan kemampuannya, sehingga karier dan martabatnya makin lama meningkat.
Tanggal 28 Oktober 1818, ia diangkat menjadi pegawai keraton dengan jabatan Carik Kaliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga Pujangga Anom, atau lazimnya disebut dengan Rangga Panjanganom.
Bersamaan dengan itu, Mas Rangga Panjanganom melakukan pernikahan dengan Raden Ajeng Gombak dan diambil alih anak angkat oleh Gusti panembahan Buminata. Perkawinan dilakukan di Buminata.
Saat itu usia Bagus Burham 21 tahun. Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya mampir ke Kediri, di dalam hal ini Ki Tanudjaja turut serta. Setelah berbakti kepada mertua, kemudianBagus Burham mohon untuk berguru ke Bali yang sebelumnya ke Surabaya.
Demikian juga berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam peluang miliki nilai itu, beliau sukses membawa pulang sebagian catatan peringatan perjalanan dan kumpulan kropak-kropak serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke Surakarta.
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melakukan tugas sebagai abdi dalem keraton. Kemudian ia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas ngabehi Sarataka, terhadap tahun 1822. Ketika terjadi perang Diponegoro (th.1825-1830), yakni disaat era Sri Paduka PB VI, ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang sesudah itu bertempat tinggal di Pasar Kliwon.
Dalam peluang itu, banyak sekali siswa-siswanya yang terdiri orang-orang asing, layaknya C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan lainnya. Dengan CF.Winter, Ranggawarsita menolong menyusun kitab Paramasastra Jawa dengan judulParamasastra Jawi. Dengan Jonas Portier ia menolong penerbitan majalah Bramartani, di dalam kedudukannya sebagai redaktur.Majalah ini terhadap era PB VIII dirubah namanya menjadi Juru Martani. Namun terhadap era PB IX lagi dirubah menjadi Bramartani.
Setelah neneknya RT. Sastranegara wafat terhadap tanggal 21 April 1844, R.Ng. Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan mendiami jabatan sebagai Pujangga keraton Surakarta Hadiningrat terhadap tahun 1845. Pada tahun ini juga, Ranggawarsita kawin lagi dengan putri RMP. Jayengmarjasa. Ranggawarsita wafat terhadap tahun 1873 bulan Desember hari Rabu pon tanggal 24. Inalilahi waina ilahi rojiun.*
Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang sesungguhnya terkenal bengal.
Sastronagoro sesudah itu mengambil alih inisiatif untuk mengirimnya nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari.
Sebagai putra bangsawan Burham membawa seorang emban bernama Ki Tanujoyo sebagai guru mistiknya. Ternyata, Ronggowarsito enggan belajar ilmu agama. Ia lebih puas berkawan dengan para warok, dan mempelajari ilmu kesaktian.
Dihukum Makan Pisang
MELIHAT kecenderungan itu, Tanujoyo mengajari Ronggowarsito berbagai ngelmu. Santri lain menjadi tertarik, dan Kasan Besari marah besar. Keduanya diusir dari pesantren.
Mereka lantas berkelana di kawasan Jawa Timur. Kepergian Ronggowarsito dan Tanujoyo membikin bingung Kasan Besari. Ia lantas mengutus muridnya bernama Kromoleyo.
Kromoleyo punya akal untuk menemukan Ronggowarsito. Yaitu dengan main rodat, kesenian tradisional berwujud sendratari.
Benar juga: di sebuah pasar di Madiun, ia berjumpa Ronggowarsito. Ketiganya lantas balik ke pesantren Kasan Besari. Sang kiai lantas mendidiknya dengan keras.
Dalam Babad Ronggowarsito dinukilkan, Kiai Kasan Besari menghukum Ronggowarsito dengan duduk di atas sebatang bambu di atas telaga dekat pesantren sepanjang 40 hari. Sehari-harinya cuma makan sebuah pisang.
Setelah hukumannya selesai, barulah Ronggowarsito diberi ilmu agama. Tanda- sinyal ia akan menjadi orang hebat terasa tampak.
Ronggowarsito sampai diangkat sebagai badal, atau wakil Kasan Besari di pesantren. Pada 1815, Ronggowarsito pulang ke rumah, yang dua tahun ditinggalkannya. Ia segera dikhitan.
Bekal ilmu dari Kasan Besari itu sesudah itu ditambahi kakeknya, Sastronegoro, dengan ilmu sastra, serta bahasa Jawa kuno dan Kawi. Dari Panembahan Buminoto, Ronggowarsito juga mereguk ilmu spiritual.
Melihat kepandaian sang anak didik, Panembahan Buminoto mengusulkan kepada Paku Buwono V, sehingga Ronggowarsito, 19 tahun disaat itu, diberi pekerjaan layak di keraton.
Usul itu ditolak. Ronggowarsito sendiri terhadap sementara itu udah menikah dengan Raden Ayu Gombak. Karena tak punya pekerjaan, Ronggowarsito mengajak Tanujoyo mengembara lagi, dan meninggalkan istrinya.
Sampai ke Bali, di tiap-tiap daerah yang punya"orang sakti'' Ronggowarsito tak lupa berguru. Setelah pemerintahan dipegang Paku Buwono VI, Ronggowarsito diminta lagi ke keraton sebagai juru tulis, terhadap 1822.
Tak lama sesudah itu berkecamuklah Perang Diponegoro, 1825-1830. Ronggowarsito berpihak terhadap Pangeran Diponegoro.
Ketegangan politik nampak pada Belanda dan Paku Buwono VI, yang diakui pro-Diponegoro. Sampai pada akhirnya Paku Buwono VI dibuang ke Ambon, dan wafat di sana terhadap 1849. Nasib yang kurang lebih mirip dialami ayah Ronggowarsito, yakni Ronggowarsito II.
Di era kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang dapat menuangkan suara era di dalam serat-serat yang ditulisnya.
Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulisSerat Jayengbaya disaat tetap menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko.
Dalam serat ini dia sukses menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya perihal pekerjaan. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal perihal segi kehidupan.
Pemikirannya perihal dunia tasawuf tertuang diantaranya di dalam Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalamSerat Kalatidha, dan berlebihan beliau di dalam dunia ramalan terkandung di dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan terhadap Serat Sabda Jati terkandung sebuah ramalan perihal sementara kematiannya sendiri.
Pertama mengabdi terhadap keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat Jajar. Pangkat ini meembuatnya menyandang nama Mas Panjangswara., adalah putra sulung Raden Mas Tumenggung Sastranegara, pujangga kraton Surakarta.. Semasa kecil beliau diasuh oleh abdi yang amat kasih bernama Ki Tanudjaja.
Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita punya jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik).
Ki Tanudjaja merubah kepribadian Ranggawarsita di dalam penghargaannya kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi makin lama bijaksana.
Menjelang dewasa (1813 Masehi), ia pergi berguru kepada Kyai Imam Besari dipondok Gebang Tinatar. Tanggung jawab sepanjang berguru itu seluruhnya diserahkan terhadap Ki Tanudjaja.
Ternyata udah lebih dua bulan, tidak maju-rnaju, dan ia amat ketinggalan dengan kawan seangkatannya. Disamping itu, Bagus Burham di Panaraga membawa perilaku buruk yang berwujud kesukaan berjudi.
Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500 reyal habis bahkan 2 (dua) kudanyapun udah dijual. Sedangkan kemajuannya di dalam belajar belum nampak., Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanudjaja sebagai pamong yang selamanya menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu.
Akhirnya Bagus Burham dan Ki Tanudjaja dengan diam-diam menghilang dari Pondok Gebang Tinatar menuju ke Mara. Disini mereka tinggal di tempat tinggal Ki ngasan Ngali saudara sepupu Ki Tanudjaja. Menurut rencana, dari Mara mereka akan menuju ke Kediri, untuk menghadap Bupati Kediri Pangeran Adipati cakraningrat.
Namun atas arahan Ki Ngasan Nga1i, mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan lumayan menanti kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja, sebab sang Adi pati akan mampir di Madiun di dalam rangka menghadap ke Kraton Surakarta.
Selama menanti kehadiran Adipati Cakraningrat itu, Bagus Burhan dan Ki Tanudjaja berjualan 'klitikan' (barang bekas yang beraneka macam yang mungkin tetap dapat digunakan). Di pasar inilah Bagus Burham berjumpa dengan Raden kanjeng Gombak, putri Adipati Cakraningrat, yang kelak menjadi isterinya.
Kemudian Burham dan Ki Tanudjaja meninggalkan Madiun. Kyai Imam Besari melaporkan moment kepergian Bagus Burhan dan Ki Tanudjaja kepada ayahanda serta neneknya di Solo/Surakarta.
Raden Tumenggung Sastranegara tahu perihal itu, dan menghendaki kepada Kyai Imam Besari untuk turut serta mencarinya. Selanjutnya Ki Jasana dan Ki Kramaleya diperintahkan mencarinya.
Kedua utusan itu pada akhirnya sukses menemukan Burham dan Ki Tanudjaja, lantas diajaknyalah mereka lagi ke Pondok Gebang Tinatar, untuk melanjutkan berguru kepada Kyai Imam Besari.
Ketika lagi ke Pondok, kenakalan Bagus Burhan tidak mereda. Karena kejengkelannya, maka Kyai Imam Besari memarahi Bagus Burham.
Akhirnya Bagus Burham menyesali perbuatannya dan nyata-nyata menyesal atas tindakannya yang kurang baik itu. Melalui sistem kesadaran dan penghayatan terhadap kenyataan hidupnya itu, Bagus Burham tahu perbuatannya dan menyesalkan hal itu.
Dengan kesadarannya, ia lantas mengupayakan keras untuk menebus ketinggalannya dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya, ia juga mengupayakan untuk mencermati keadaan sekitarnya, yang terhadap pada akhirnya justru mendorongnya untuk mengejar ketinggalan di dalam belajar.
Dengan demikian nampak kesadaran baru untuk berbuat baik dan luhur, sesuai dengan kemampuannya.
Sejak sementara itu, Bagus Burhan belajar dengan lancar dan cepat, sehingga Kyai Imam Besari dan teman-teman Bagus Burhan menjadi heran atas kemajuan Bagus Burham itu.
Dalam sementara singkat, Bagus Burhan dapat melebihi kawan-kawannya. Setelah di Pondok Gebang Tinatar dirasa cukup, lantas lagi ke Surakarta, dan dididik oleh neneknya sendiri, yakni Raden Tumenggung Sastranegara.
Neneknya mendidik dengan berbagai ilmu ilmu yang amat berfaedah baginya. Setelah dikhitan terhadap tanggal 21 Mei l8l5 Masehi, Bagus Burham diserahkan kepada Gusti Panembahan Buminata, untuk mempelajari bidang Jaya-kawijayan (kepandajan untuk menolak suatu tingkah laku jahat atau membuat diri seseorang merniliki suatu kekuatan yang melebihi orang kebanyakan),
kecerdas-an dan kekuatan jiwani.Setelah tamat berguru, Bagus Burhan dipanggil oleh Sri Paduka PB.IV dan dianugerahi restu, yang terdiri dari tiga tingkatan, yakni :
Pertama : Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk menangani pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan membuat Bagus Burham punya jiwa halus, teguh dan berkemauan keras. Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk menangani pubersitas.
Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan membuat Bagus Burham punya jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk menangani pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan membuat Bagus Burham punya jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
Kedua : Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas.
Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar perihal sastra Jawa.
Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar perihal sastra Jawa.
Ketiga : Pembentukan rasa harga diri, keyakinan diri dan keteguhan iman diperoleh dari Gusti Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini, diperoleh pula ilmu Jaya-kawijayan, kesaktian dan kanuragan. Proses inilah sistem pendewasaan diri, sehingga siap di dalam terjun kemasyarakat.
dan siap menghadapai segala macam percobaan dan dinamika kehidupan.Bagus Burham secara kontinyu mendapat pendidikan lahir batin yang sesuai dengan pertumbuhan sifat-sifat kodratiahnya, bahkan ditambah dengan pengalamannya terjun mengembara ketempat-tempat yang dapat menggernbleng pribadinya.
Seperti pengalaman ke Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali. Disamping gemblengan orang-orang tersebut diatas, terkandung pula bangsawan keraton yang juga berikan stimulus kuat untuk meningkatkan kemampuannya, sehingga karier dan martabatnya makin lama meningkat.
Tanggal 28 Oktober 1818, ia diangkat menjadi pegawai keraton dengan jabatan Carik Kaliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga Pujangga Anom, atau lazimnya disebut dengan Rangga Panjanganom.
Bersamaan dengan itu, Mas Rangga Panjanganom melakukan pernikahan dengan Raden Ajeng Gombak dan diambil alih anak angkat oleh Gusti panembahan Buminata. Perkawinan dilakukan di Buminata.
Saat itu usia Bagus Burham 21 tahun. Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya mampir ke Kediri, di dalam hal ini Ki Tanudjaja turut serta. Setelah berbakti kepada mertua, kemudianBagus Burham mohon untuk berguru ke Bali yang sebelumnya ke Surabaya.
Demikian juga berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam peluang miliki nilai itu, beliau sukses membawa pulang sebagian catatan peringatan perjalanan dan kumpulan kropak-kropak serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke Surakarta.
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melakukan tugas sebagai abdi dalem keraton. Kemudian ia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas ngabehi Sarataka, terhadap tahun 1822. Ketika terjadi perang Diponegoro (th.1825-1830), yakni disaat era Sri Paduka PB VI, ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang sesudah itu bertempat tinggal di Pasar Kliwon.
Dalam peluang itu, banyak sekali siswa-siswanya yang terdiri orang-orang asing, layaknya C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan lainnya. Dengan CF.Winter, Ranggawarsita menolong menyusun kitab Paramasastra Jawa dengan judulParamasastra Jawi. Dengan Jonas Portier ia menolong penerbitan majalah Bramartani, di dalam kedudukannya sebagai redaktur.Majalah ini terhadap era PB VIII dirubah namanya menjadi Juru Martani. Namun terhadap era PB IX lagi dirubah menjadi Bramartani.
Setelah neneknya RT. Sastranegara wafat terhadap tanggal 21 April 1844, R.Ng. Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan mendiami jabatan sebagai Pujangga keraton Surakarta Hadiningrat terhadap tahun 1845. Pada tahun ini juga, Ranggawarsita kawin lagi dengan putri RMP. Jayengmarjasa. Ranggawarsita wafat terhadap tahun 1873 bulan Desember hari Rabu pon tanggal 24. Inalilahi waina ilahi rojiun.*