Pada saat Majapahit kalah, kerabat keraton melarikan diri ke berbagai daerah. Ki Ageng Tunggul Wulung melarikan diri ke barat hingga ke Dusun Beji atau Diro, sebelah timur Sungai Progo.
Ia disertai istrinya yaitu Raden Ayu Gadung Melati beserta tujuh punggawa dan beberapa abdi terpercaya. Ia juga disertai Raden Sutejo dan Raden Purworejo yang bersifat kajiman (tidak kasat mata) yang selalu menyertai perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung, juga abdi dalem kinasih yang bernama Nyai Dakiyah.
Ki Ageng membawa beberapa pusaka yang diwangsitkan Prabu Brawijaya untuk diserahkan kepada raja pengganti kelak, yaitu tombak Tunggul Wasesa, keris Pulang Geni, dan bendera Tunggul Wulung. Di Dusun Beji (Diro), Ki Ageng Tunggul Wulung membuat pesanggrahan (kraton kecil) yang peninggalannya masih dapat ditemukan, berupa patung pepethan lembu Andhini dan sapi Gumarang serta Sendang Beji.
Masuknya Ki Ageng Tunggul Wulung di wilayah ini mengakibatkan wilayah ini menjadi lebih aman dan tenteram. Hal ini membuat orang lain ikut tertarik untuk tinggal di tempat ini.
Semua itu terjadi karena peran Ki Ageng Tunggul Wulung yang dapat memberikan pengayoman kepada warga lain yang bermukim di tempat itu (masyarakat) serta mampu memberikan kemakmuran.
Masyarakat Dusun Dukuhan percaya bahwa Ki Ageng Tunggul Wulung merupakan cikal-bakal dusun mereka dan menjadi pelindung.
Pada suatu malam Jumat Pon, Ki Ageng Tunggul Wulung memohon petunjuk kepada Yang Maha Agung di bawah pohon Timoho di dekat Sungai Progo.
Ki Ageng Tunggul Wulung serta istri dan tujuh orang pengawalnya serta Nyai Dakiyah akhirnya moksa. Binatang-binatang peliharaan Ki Ageng juga moksa, yaitu burung perkutut, burung gemak, macan gembong, macan kumbang, macan putih, nogo ijo, nogo ireng, dan ayam jago "wiring kuning".
Tempat moksanya diberi batu nisan layaknya makam.Nisan ini sekarang telah diberi cungkup berbentuk rumah tembok dengan ukuran sekitar 8 meter x 6 meter. Di depan cungkup tersebut dibangun pendapa sebagai salah satu tempat persembahan dan perebutan hasil bumi (ubarampe) sesajen kirab Upacara Tradisi Merti Dusun Ki Ageng Tunggul Wulung.
Ia disertai istrinya yaitu Raden Ayu Gadung Melati beserta tujuh punggawa dan beberapa abdi terpercaya. Ia juga disertai Raden Sutejo dan Raden Purworejo yang bersifat kajiman (tidak kasat mata) yang selalu menyertai perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung, juga abdi dalem kinasih yang bernama Nyai Dakiyah.
Ki Ageng membawa beberapa pusaka yang diwangsitkan Prabu Brawijaya untuk diserahkan kepada raja pengganti kelak, yaitu tombak Tunggul Wasesa, keris Pulang Geni, dan bendera Tunggul Wulung. Di Dusun Beji (Diro), Ki Ageng Tunggul Wulung membuat pesanggrahan (kraton kecil) yang peninggalannya masih dapat ditemukan, berupa patung pepethan lembu Andhini dan sapi Gumarang serta Sendang Beji.
Masuknya Ki Ageng Tunggul Wulung di wilayah ini mengakibatkan wilayah ini menjadi lebih aman dan tenteram. Hal ini membuat orang lain ikut tertarik untuk tinggal di tempat ini.
Semua itu terjadi karena peran Ki Ageng Tunggul Wulung yang dapat memberikan pengayoman kepada warga lain yang bermukim di tempat itu (masyarakat) serta mampu memberikan kemakmuran.
Masyarakat Dusun Dukuhan percaya bahwa Ki Ageng Tunggul Wulung merupakan cikal-bakal dusun mereka dan menjadi pelindung.
Pada suatu malam Jumat Pon, Ki Ageng Tunggul Wulung memohon petunjuk kepada Yang Maha Agung di bawah pohon Timoho di dekat Sungai Progo.
Ki Ageng Tunggul Wulung serta istri dan tujuh orang pengawalnya serta Nyai Dakiyah akhirnya moksa. Binatang-binatang peliharaan Ki Ageng juga moksa, yaitu burung perkutut, burung gemak, macan gembong, macan kumbang, macan putih, nogo ijo, nogo ireng, dan ayam jago "wiring kuning".
Tempat moksanya diberi batu nisan layaknya makam.Nisan ini sekarang telah diberi cungkup berbentuk rumah tembok dengan ukuran sekitar 8 meter x 6 meter. Di depan cungkup tersebut dibangun pendapa sebagai salah satu tempat persembahan dan perebutan hasil bumi (ubarampe) sesajen kirab Upacara Tradisi Merti Dusun Ki Ageng Tunggul Wulung.