Saat berguru, Raden Kertonadi (red-nama kecil Ki Ageng Giring III) bertemu dengan seorang wali besar yang bernama Sunan Kalijaga. Kertonadi seperguruan dengan Raden Bagus Kecung yang kelak bergelar Ki Ageng Pemanahan yang merupakan keturunan Prabu Brawijaya V (Bhre Kertabumi).
Keduanya adalah para tokoh politik yang mengembara untuk mengembangkan kekuatan spiritual dan mengajarkan Islam kepada penduduk sekitar.
“Perlu diketahui, bahwa setelah hancurnya kerajaan Majapahit, putra-putri Prabu Brawijaya menyebar ke berbagai wilayah di tanah Jawa, bahkan sampai Bali dan Lombok.
Di tempatnya masing-masing, mereka berikhtiar lahir batin untuk mendapatkan kembali tahta ayahanda beliau yang telah hilang. Keyakinan bahwa wahyu keraton akan turun kepada putra yang memiliki kecakapan lahir batin ini sangat kuat menancap ke dalam relung jiwa para trah darah biru ini, di antaranya adalah Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan,” jelas Mas Lurah Surakso Hartoyo belum lama ini.
Diketahui Ki Ageng Giring menikah dengan Nyi Talang Warih dan dari pernikahan tersebut lahir dua orang anak, yaitu Rara Lembayung dan Ki Ageng Wonokusumo yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV.
Isyarat akan turunnya wahyu Keraton Mataram di perbukitan kidul itu atas petunjuk Sunan Kalijaga, seorang tokoh spiritual yang mampu melihat dengan pandangan lahir batin atas suatu persoalan masyarakat.
Oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan dianggap sebagai santri yang mampu menjalankan tirakat dengan kuat untuk menyangga negeri. Untuk mengupas keterkaitan kisah ini, tidak bisa lepas dari perjalanan Ki Ageng Pemanahan mengawal Sultan Hadiwijaya di Keraton Pajang.
Pada saat itu, Ki Ageng Pemanahan masih berada di lingkungan pangreh praja Keraton Pajang di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir.
Alkisah, setelah kemenangan anak Ki Ageng Pemanahan (red Danang Sutawijaya) menaklukkan Aryo Penangsang di Jipang Panolan, ternyata belum mendapatkan hadiah dari sultan sebagaimana dijanjikan dalam sayembara, bahwa barang siapa yang bisa mengalahkan Aryo Penangsang akan mendapat hadiah tanah perdikan yang luas.
Ki Penjawi sudah diberi hadiah tanah Pati (Jawa Tengah), sementara Ki Ageng Pemanahan yang sebenarnya paling berhak malah belum mendapatkan haknya.
Karena kecewa hatinya, Ki Ageng Pemanahan lantas pergi dari istana.
Ia menuju ke rumah sahabatnya, Ki Ageng Giring III, di daerah Gunungkidul. Ki Ageng Giring terkenal sebagai seorang petani pertapa sekaligus penyadap nira kelapa.
Maka di tempat tersebut Ki Ageng Giring lebih terkenal dengan sebutan nama Ki Panderesan karena profesi penyadap nira. Bersamaan dengan itu, Sunan Kalijaga dawuh bahwa kelak wahyu Gagak Emprit akan turun di tengah pegunungan selatan dalam sebuah air degan. Namun kapan wahyu itu akan turun, Kanjeng Sunan tidak pernah menjelaskan dan pantang bagi murid untuk bertanya kepada Guru.
Oleh Sang Sunan, Ki Ageng Pemanahan kemudian disuruh melakukan tirakat di daerah yang terdapat pohon mati yang berbunga. Pohon mati yang berbunga itu ditemukan oleh Ki Ageng Pemanahan berada di tempat yang sekarang disebut Kembang Lampir, wilayah Desa Giri Sekar, Kecamatan Panggang, Gunungkidul.
Adapun Ki Ageng Giring yang tinggal di daerah Alas Paliyan Gunungkidul disuruh menanam sepet atau sabut kelapa kering, yang kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa yang menghasilkan degan atau buah kelapa muda. Sabut kelapa kering yang secara nalar tidak mungkin tumbuh, namun atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, tumbuh menjadi sebatang pohon kelapa.
“Berbuahlah pohon kelapa tersebut. Terdapat satu buah degan atau kelapa muda yang hijau dengan sebutan gagak emprit.
Kenapa disebut gagak emprit, karena saking tingginya pohon kelapa maka seekor burung gagak yang sejatinya besar namun dilihat dari bawah hanya sebesar burung emprit yang sangat kecil. Itulah wahyu keraton yang selama ini dicari-cari,” ungkap Mas Lurah Surakso Hartoyo.
Sementara itu di tempat terpisah, Ki Ageng Pemanahan juga sedang bertapa atau semedi di Kembanglampir.
Semedi ini juga bertujuan untuk mengetahui dan mendapat petunjuk tentang keberadaan wahyu keraton.
“Ngger tututana wahyu keraton wis mudun manther sak sodo lanang,”bisik Sunan Kalijaga kala membangunkan Ki Ageng Pemanahan dari bertapa di Kembang Lampir.
Ki Ageng Pemanahan kemudian jengkar dari bertapa dan mengamat-amati posisi Wahyu Keraton dari Alas Nawangan. Terlihatlah cahaya manther bersinar terang sebesar lidi dari arah gubuk Ki Ageng Giring. Bergegaslah Ki Ageng Pemanahan menuju ke tempat tinggal saudara seperguruannya itu.
Pada saat bersamaan, Ki Ageng Giring III sedang duduk di bawah pohon kelapa mendapat bisikan yang berasal dari suara tanpa rupa yang pada intinya menjelaskan keberadaan buah kelapa muda atau degan Gagak Emprit yang ada diatas tempatnya duduk saat ini. Isi bisikan itu bahwa siapa bisa meminum sampai habis air kelapa mudaGagak Emprit seketika dalam sekali teguk, maka keturunannya akan menjadi raja-raja di tanah Jawa.
Lantas oleh Ki Ageng Giring buah tersebut dipetik lalu ditaruh di paga, yaitu sebuah rak besar tempat menyimpan hasil tani atau ada juga untuk menyimpan peralatan yang ada di dapur. Sebelum berangkat ke ladang, Ki Ageng Giring III berpesan kepada istrinya.
“Nyi jangan ada yang meminum degan ini, ini sangat penting untuk masa depan anak keturunan kita kelak,” begitulah juru kunci Makam Ki Ageng Giring menirukan atau mengira-ira bunyi pesan suami Nyi Ageng Giring. Ki Ageng Giring III berencana meminum degan tersebut saat pulang dari ladang, pada saat haus supaya terasa segar, sekaligus agar dapat meminumnya sampai habis sekali teguk.
Sementara itu, di saat Ki Ageng Giring di ladang, pelan tapi pasti langkah Ki Ageng Pemanahan menuju kediaman Ki Ageng Giring. Sesampainya di rumah, Ki Ageng Pemanahan lantas menuju dapur, tahu bahwa di dapur ada sebuah degan di atas paga, maka ia meminta ijin kepada Nyi Ageng Giring untuk meminumnya.
“Mbakyu, Kang Mas dimana?, saya akan meminum air kelapa itu,” tanya Ki Ageng Pemanahan. “Jangan Dimas, nanti kakakmu marah,” jawab Nyi Ageng Giring.
“Tidak apa-apa Mbakyu, kalau ada apa-apa saya yang bertanggung jawab,” Mas Lurah seolah bermain drama menceritakan kisah tersebut. Ki Ageng Pemanahan memang sedikit memaksa, karena tahu bahwa wahyu keraton ada di dalam degan tersebut. Sampai 3 kali diperingatkan oleh Nyi Ageng Giring tak juga diindahkan.
Oleh Ki Ageng Pemanahan, degan gagak emprit lantas diminum dan habis dalam sekali teguk.
Bersamaan, pada saat itu Ki Ageng Giring sedang jamas atau mandi di Kali Gowang. Seperti cerita turun temurun, orang jaman dahulu memang mempunyai perasaan peka atau waskita. Begitu pula dengan Ki Ageng Giring III, ia pun merasa kecolongan, tahu dan sangat merasa kehilangan ia menangis.
Air mata yang menetes di bebatuan itu membuat batuan berlubang, retak atau pecah (Bahasa Jawa: gowang), sehingga di sungai tempat ia mandi hingga kini disebut Kali Gowang.
Bekas tetesan airmata Ki Ageng Giring pun masih nampak di Kali Gowang dengan adanya batu berlobang-lobang.Ini menjadi pengingat di mana saat Ki Ageng Giring hatinya sedih, patah ataugowang. Ki Ageng Giring bergegas pulang dan mendapati Ki Ageng Pemanahan sudah ada dirumahnya.
“Lho Adi Pemanahan? Kapan tiba di gubugku ini, Di?” tanyanya sambil merangkul melepas rindu kepada sahabatnya.
“Baru saja Kakang, sudah lama aku tidak berkunjung ke sini, bagaimana kabar Kakang Giring?” kata Ki Ageng Pemanahan.
“Kakang, karena kehausan dari perjalanan jauh, eh sampeyan tidak ada. Aku langsung njujug pawon dan meminum degan yang ada di paga milik Kakang, aku mohon maaf sebelumnya Kakang,” lanjut Pemanahan.
Ki Ageng Giring tertunduk lemas. Semestinya Ki Ageng Giring berhak marah, namun seorang yang memiliki kualitas ruhani dan kepasrahan jiwa tidaklah perlu marah. Beliau sudah lama olah jiwa dengan meper hawa nepsu. Betapapun dia menginginkan wahyu itu jatuh kepada dirinya, namun Tuhan bisa berkata lain.
Ini bagian takdir yang harus dilakoninya.
Ia ingat betapa Ki Ageng Selo di Purwodadi dulu sangat ingin mendapatkan wahyu keraton hingga berpuasa dan menjalankan laku batin dengan sangat keras dan berat selama puluhan tahun. Namun tiba-tiba seorang pemuda yang baru saja mengabdi padanya sebagai seorang murid, yang tidak pernah meminta dan ingin menjadi seorang raja, justru mendapatkan karunia dari Tuhan sebuah mimpi yang menunjukkan dirinya akan menjadi sesembahan orang setanah Jawa.
Pemuda itu bernama Joko Tingkir. Ki Ageng Selo hendak marah, hingga ia berpikir untuk membunuh saja anak kemarin sore itu. Namun, Ki Ageng cepat menahan diri melawan takdir. Akhirnya Ki Ageng Selo pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan ridha dengan Joko Tingkir.
“Ketiwasan Adi!”, sergah Ki Ageng Giring dengan nada lemas dan kecewa berat. “Sebenarnya Adi, degan tersebut merupakan wahyu yang telah aku upadi dengan tapa brata yang sulit untuk mendapatkan kemuliaan bagi anak cucuku kelak di kemudian hari”, ia menegaskan.
Ia kemudian menceritakan mengenai‘wahyu gagak emprit’ yang diperolehnya berwujud degan tersebut. Dengan besar hati akhirnya ia berkata, “Adi, barangkali ini semua memang sudah menjadi titah Gusti, sehingga aku harus rela anak cucumulah kelak yang akan menjadi penguasa tanah Jawa ini.
Namun Adi, apabila engkau tidak berkeberatan izinkan juga anak cucuku juga ikut nunut mukti dan menjadi raja tanah Jawa kelak kemudian hari.”
Ki Ageng Pemanahan tidak lantas menjawab, numun justru mohon pamit dari kediaman kakak seperguruannya itu. Lantas dikejarlah Ki Ageng Pemanahan oleh Ki Ageng Giring III, dengan maksud untuk meminta bagian keturunan dari wahyu kraton.
Sembari berjalan dan terus mengejar, ia meminta kepada Ki Ageng Pemanahan, permintaan agar keturunannya dapat bergantian menjadi raja terus dilontarkan.
Permintaan demi permohonan mengenai keturunan keberapa akan diberikan kepada keturunan Ki Ageng Giring tak dijawab oleh Ki Ageng Pemanahan. Pengejaran atau perjalanan itu menuju ke arah barat.“Keturunan ke-1 Dimas?,”, “Keturunan ke-2 Dimas?,”, “Keturunan ke-3 Dimas?,” dan seterusnya tak dijawab.
Setelah perjalanan sampai di Gunung Pasar wilayah Dlingo Bantul, keduanya berhenti, lalu Ki Ageng Pemanahan memberikan jawaban setelah pertanyaan sampai pada keturunan ke-7.
“Mungkin sudah kodrat Tuhan Kang Mas, bahwa saya yang meminum air degan, yang kemudian akan menurunkan raja-raja, sedangkan Kangmaslah yang memetik dan menyimpannya atau yang mendapat wahyunya,” jawab Ki Ageng Pemanahan yang digambarkan Mas Lurah Surakso Hartoyo.
Mendapat jawaban tersebut Ki Ageng Giring puas hatinya lalu kembali pulang ke kediamannya, sedangkan Ki Ageng Pemanahan melanjutkan perjalanan ke Alas Mentaok (red-sekarang Kotagede), membabat hutan untuk dijadikan Keraton Mataram. Di Gunung Pasar tersebut, masih ada hingga saat ini terdapat nisan atau kijingberjumlah tujuh sebagai tetenger atau pertanda adanya perjanjian Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan.
Waktu berlanjut, Ki Ageng Pemanahan memiliki anak Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati sedangkan Ki Ageng Giring punya anak Roro Lembayung.
Ki Ageng Pemanahan mendapat nasehat dari Ki Juru Mertani, bahwa walaupun Ki Ageng Pemanahan dapat meminum degan sebagai wahyu Keraton, tetapi jika tidak bersatu dengan Ki Ageng Giring tidak akan kuat memegang tampuk Kasultanan, maka Panembahan Senopati memperistri Kanjeng Roro Lembayung sehingga menurunkan Joko Umbaran atau Pangeran Purbaya di Wotgaleh, Berbah, Sleman. Pangeran Purbaya atau julukannya Banteng Mataram itulah cucu dari Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring.
Kisah Ki Ageng Giring ini menjadi sangat khas Jawa. Betapapun membuktikan nasab hingga 7 turunan tidaklah mudah. Apalagi intrik dan campur tangan politik tanah Jawa pada kurun waktu itu sangat keras. Kerajaan Mataram berpindah-pindah dari Kotagede ke Pleret, Bantul dari Pleret pindah ke Kartasura dan akhirnya dari Kartasura ke Surakarta.
Kita hanya mengetahui bahwa Kerajaan Mataram kemudian didirikan oleh Danang Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan yang bergelar Panembahan Senopati. Panembahan Senopati kemudian menurunkan Panembahan Sedo Krapyak, Panembahan Sedo Krapyak menurunkan Raden Mas Rangsang yang kita kenal dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Pada masa Sultan Agung kerajaan Mataram mencapai puncak keemasannya secara kewilayahan, keprajuritan, keagamaan, sosial budaya dan ekonomi merajai Tanah Jawa. Namun pasca Sultan Agung, Mataram benar-benar harus berjuang mempertahankan eksistensinya karena banyak intrik baik internal maupun eksternal berupa kedatangan penjajah.
Babad Nitik Sultan Agung menguraikan perjalanan Sultan Agung, termasuk pembuktian bahwa Puger memang keturunan Giring. Penulis babad ini menceritakan bahwa pada suatu ketika parameswari Amangkurat I, Ratu Labuhan, melahirkan seorang bayi yang cacat. Bersamaan dengan itu isteri Pangeran Arya Wiramanggala, keturunan Kajoran, yang merupakan keturunan Giring, melahirkan seorang bayi yang sehat dan tampan. Amangkurat mengenal Panembahan Kajoran sebagai seorang ulama sepuh dan dapat menyembuhkan orang sakit.
Oleh karena itu puteranya yang cacat dibawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah kesempatan yang baik untuk merajakan keturunannya. Dengan cerdiknya bayi anak Wiramanggalalah yang dikembalikan ke Amangkurat I ditukar dengan menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil.
Dengan demikian, menjadi benarlah bahwa pada urutan keturunan yang ke-7 keturunan Ki Ageng Giringlah yang menjadi raja, meskipun silsilah itu diambil dari garis perempuan. Paku Buwono I adalah raja yang berdarah Giring.
Sedangkan sejarah Desa Sodo berawal dengan ditemukannya makam Ki Ageng Giring. Menurut Mas Lurah Surakso Hartoyo, proses penemuan makam Ki Ageng Giring III berawal dari kebiasaan masyarakat yang ziarah ke makam Sunan Tembayat di Klaten. Dari sana justru mendapat petunjuk untuk mencari lemah putih di tanah Paliyan. Konon di tempat tersebut auranya bagus untuk ngulir budi.
Untuk mencari lokasi yang dimaksud dari makam Sunan Tembayat, warga butuh waktu dan babad dalan membersihkan pepohonan dan semak berduri menuju lahan yang dimaksud. Saat itulah ditemukan banyak tulang belulang di sekitar tanah yang berwarna putih. Itulah yang saat ini menjadi kompleks pemakaman Ki Ageng Giring dan pengikutnya.
Maka jadilah tradisi itu terus diperingati hingga saat ini bernama babad dalan setiap hari Jum’at Kliwon antara akhir bulan Maret dan April setiap tahunnya.
“Kenapa kok mesti Jumat Kliwon, karena pada hari Jumat Kliwon itulah ditemukannya lemah putih, kompleks pemakaman Ki Ageng Giring III inilah,” tegas juru kunci.
Masyarakat setempat melakukan babat alas atau membuat jalan menuju makam, sehingga hingga saat ini ada tradisi babat dalan di wilayah Sodo, sedangkan nama Desa Sodo sendiri bermula dari kata Sodo yang artinya wahyu keraton turun sebesar sodo (lidi).
“Nama Sodo sendiri bisa diidentikkan dengan Usodo atau berarti upaya berobat,” tambahnya.
Setiap orang yang datang ke makam berdoa dan memohon kepada yang kuasa meminta obat, apakah ingin mendapat obat hati berupa ketentraman, dan lainnya. Perkembangannya, banyak yang datang berziarah atau untuk berdoa mendapat kemudahan dalam hal pekerjaan, pangkat atau karir, dan usaha bisnis serta yang lainnya.
Biasanya makam Ki Ageng Giring III ramai pada malam Jum’at Kliwon, Selasa Kliwon dan Jum’at Legi.
Di depan makam Ki Ageng Giring ada 4 makam kecil yang tak lain adalah Abdi dari Ki Ageng Giring, yaitu: Eyang Purwosodo, Eyang Mandung, Eyang Manten dan Eyang Jampianom. Ada satu lagi di bagian luar sebagai penjaga kelapa bernama Bintuluaji dan juru kunci pertama yaitu Madiyo Kromo atau disebut Suto Reko.
Di Desa Sodo sendiri terdapat dua pelaksanaan tradisi sebagai pengingat ketokohan Ki Ageng Giring III. Yang pertama yaitu warga membuat apem conthong jagung, dilaksanakan setelah panen jagung pada hari Jum’at Kliwon. Hal ini sebagai peringatan waktu Ki Ageng Giring III menjalankan puasa atau laku prihatin. Kala itu terbiasa berbuka puasa dengan apem conthong jagung.
Tata caranya, masakan pertama berjumlah 41 disingkirkan terlebih dahulu untuk sesaji dan ikut dikendurikan, lalu sisanya dibagi dan untuk sajian makan bersama.
Jumlahnya 41 itu sesuai jumlah hari Ki Ageng Giring berpuasa.
“Yang ke-2 yaitu Babat Dalan, berlangsung setiap sehabis masa panen padi pada hari pasaran Jumat Kliwon, atau biasanya dilaksanakan antara Bulan Maret-Juni,” kata Mas Lurah Surakso Hartoyo ini.