GEMPA dengan magnitudo 7,4 mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jumat, 28 September 2018, pukul 17:02 WIB. Tsunami setinggi 1,5–2 meter menerjang Palu dan Donggala. Ratusan gempa susulan terus terjadi. Gempa diakibatkan oleh patahan Palu-Koro.
Pada 30 September 2018, BNPB mengucapkan data korban meninggal sejumlah 832 jiwa. Korban bisa jadi akan terus bertambah.
Dalam sejarah, tsunami kesatu terjadi pada 1927. Gelombang setinggi 15 meter menerjang kota, menewaskan 15 orang dan 50 orang terluka. Setelah itu, gempa dan tsunami pulang terjadi pada 1938 dan 1968.
Baca juga: Gempa dan tsunami tertua yang terdaftar terjadi di Ambon
National Oceanic and Atmospheric Administration (ngdc.noaa.gov) mendata bahwa pada 19 Mei 1938 terjadi gempa berkekuatan magnitudo 7,6 dengan pusat gempa di Teluk Tomini. Gempa terasa nyaris di semua Pulau Sulawesi dan di sebelah unsur timur Pulau Kalimantan. Gempa menjangkau kekuatan terbesarnya di distrik Parigi.
Gempa menyebabkan 18 orang meninggal, 942 lokasi tinggal (lebih dari 50%) ambruk di 34 desa dan 184 lokasi tinggal rusak. Di permukiman Pelawa, pohon-pohon tumbang. Di permukiman Marantale, tanah retak dan terpecah di perkebunan kelapa; satu lokasi tinggal dan tanah di dekat perkebunan pisang bergeser 25 meter. Jalan-jalan retak sampai puluhan meter dengan lebar retakan 50 cm; di sana-sini lumpur mengalir.
Di Parigi, sekolah dan gereja ambruk. Di distrik Palu dan Donggala terjadi tidak banyak kerusakan. Sedangkan di wilayah Poso dan Tinombo, tidak ada kehancuran sama sekali, meskipun terdapat guncangan kuat. Ada tidak sedikit gempa susulan. Setelah gempa, tsunami setinggi 2-3 meter dari teluk selama Toribulu menerjang ke Parigi.
“Pada 1938 terjadi gempa yang hebat mengakibatkan air laut naik menyapu rumah-rumah dan pohon kelapa rakyat di sepanjang pantai Kampung Mamboro, di ambang pantai Barat Kabupaten Donggala,” tulis Masyhuddin Masyhuda dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Sulawesi Tengah.
Baca juga: Tujuh gempa Lombok dalam daftar sejarah
Orang yang selamat dari gempa dan tsunami itu ialah Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio. Orangtua pengusaha Ciputra tersebut tinggal di Parigi, kota yang terletak di perbatasan Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Ciputra bermunculan dengan nama Tjie Tjin Hoan di Parigi pada 24 Agustus 1931. Ketika gempa terjadi, dia bermukim di lokasi tinggal kakeknya yang biasa dinamakan Engkong di Gorontalo guna sekolah dasar.
“Tahun 1938 terjadi gempa bumi hebat di Sulawesi Tengah yang menyebabkan tsunami dahsyat di Teluk Tomini. Parigi tergolong desa yang porak poranda. Beruntung, Papa dan Mama selamat. Tapi mereka telah tak inginkan lagi membina rumah dan meneruskan hidup di Parigi,” kata Ciputra dalam biografi terbarunya, Ciputra The Entrepreneur: The Passion of My Life (2018) karya Alberthiene Endah.
Baca juga: Orang Jawa Kuno memandang gempa sebagai pertanda suatu peristiwa besar
Setelah gempa itu, family Ciputra pindah ke Bumbulan, desa kecil selama 140 kilometer dari Gorontalo. Di sana, orangtuanya mengelola toko kepunyaan Engkong.
Selamat dari gempa dan tsunami, hidup ayah Ciputra selesai di tangan polisi rahasia Jepang (Kempeitai) yang menuduhnya mata-mata Belanda. Dia meninggal dalam tahanan Jepang di Manado.
Gempa dan tsunami pulang terjadi di Sulawesi Selatan pada Agustus 1968 yang menewaskan 200 orang dan 800 lokasi tinggal hancur bahkan suatu pulau hilang.
Pada 30 September 2018, BNPB mengucapkan data korban meninggal sejumlah 832 jiwa. Korban bisa jadi akan terus bertambah.
Dalam sejarah, tsunami kesatu terjadi pada 1927. Gelombang setinggi 15 meter menerjang kota, menewaskan 15 orang dan 50 orang terluka. Setelah itu, gempa dan tsunami pulang terjadi pada 1938 dan 1968.
Baca juga: Gempa dan tsunami tertua yang terdaftar terjadi di Ambon
National Oceanic and Atmospheric Administration (ngdc.noaa.gov) mendata bahwa pada 19 Mei 1938 terjadi gempa berkekuatan magnitudo 7,6 dengan pusat gempa di Teluk Tomini. Gempa terasa nyaris di semua Pulau Sulawesi dan di sebelah unsur timur Pulau Kalimantan. Gempa menjangkau kekuatan terbesarnya di distrik Parigi.
Gempa menyebabkan 18 orang meninggal, 942 lokasi tinggal (lebih dari 50%) ambruk di 34 desa dan 184 lokasi tinggal rusak. Di permukiman Pelawa, pohon-pohon tumbang. Di permukiman Marantale, tanah retak dan terpecah di perkebunan kelapa; satu lokasi tinggal dan tanah di dekat perkebunan pisang bergeser 25 meter. Jalan-jalan retak sampai puluhan meter dengan lebar retakan 50 cm; di sana-sini lumpur mengalir.
Di Parigi, sekolah dan gereja ambruk. Di distrik Palu dan Donggala terjadi tidak banyak kerusakan. Sedangkan di wilayah Poso dan Tinombo, tidak ada kehancuran sama sekali, meskipun terdapat guncangan kuat. Ada tidak sedikit gempa susulan. Setelah gempa, tsunami setinggi 2-3 meter dari teluk selama Toribulu menerjang ke Parigi.
“Pada 1938 terjadi gempa yang hebat mengakibatkan air laut naik menyapu rumah-rumah dan pohon kelapa rakyat di sepanjang pantai Kampung Mamboro, di ambang pantai Barat Kabupaten Donggala,” tulis Masyhuddin Masyhuda dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Sulawesi Tengah.
Baca juga: Tujuh gempa Lombok dalam daftar sejarah
Orang yang selamat dari gempa dan tsunami itu ialah Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio. Orangtua pengusaha Ciputra tersebut tinggal di Parigi, kota yang terletak di perbatasan Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Ciputra bermunculan dengan nama Tjie Tjin Hoan di Parigi pada 24 Agustus 1931. Ketika gempa terjadi, dia bermukim di lokasi tinggal kakeknya yang biasa dinamakan Engkong di Gorontalo guna sekolah dasar.
“Tahun 1938 terjadi gempa bumi hebat di Sulawesi Tengah yang menyebabkan tsunami dahsyat di Teluk Tomini. Parigi tergolong desa yang porak poranda. Beruntung, Papa dan Mama selamat. Tapi mereka telah tak inginkan lagi membina rumah dan meneruskan hidup di Parigi,” kata Ciputra dalam biografi terbarunya, Ciputra The Entrepreneur: The Passion of My Life (2018) karya Alberthiene Endah.
Baca juga: Orang Jawa Kuno memandang gempa sebagai pertanda suatu peristiwa besar
Setelah gempa itu, family Ciputra pindah ke Bumbulan, desa kecil selama 140 kilometer dari Gorontalo. Di sana, orangtuanya mengelola toko kepunyaan Engkong.
Selamat dari gempa dan tsunami, hidup ayah Ciputra selesai di tangan polisi rahasia Jepang (Kempeitai) yang menuduhnya mata-mata Belanda. Dia meninggal dalam tahanan Jepang di Manado.
Gempa dan tsunami pulang terjadi di Sulawesi Selatan pada Agustus 1968 yang menewaskan 200 orang dan 800 lokasi tinggal hancur bahkan suatu pulau hilang.