PADA MASA JAWA KUNO AGAMAWAN PUN DILIBATKAN DALAM MEREBUT KEKUASAAN

Para calon raja di Jawa pada masa kemudian menggandeng kaum agamawan guna meraih kekuasaan.
Risa Herdahita Putri
3 minggu lalu, 00:27


RAJA Daha, Dandang Gendis memaksa semua rohaniawan guna menyembah padanya. Dia berbicara pada semua rohaniawan yang terdapat di semua Daha:





“Wahai semua bujangga pemeluk agama Siwa dan Buddha. Apakah sebabnya tuan tidak menyembah kepadaku? Bukankah saya ini semata-mata Batara Guru?” katanya.

“Tuanku, sejak zaman dahulu tidak terdapat bujangga yang menyembah raja,” jawab semua bujangga.

Mereka lalu membangkang dan menggali perlindungan ke Tumapel. Kepada Ken Angrok, mereka menghamba. Itulah asal awalnya Tumapel tidak inginkan tunduk ke Daha menurut perkabaran di Serat Pararaton.

Tak lama kemudian, Ken Angrok menjadi raja di Tumapel. Negaranya mempunyai nama Singhasari. Dinobatkan dengan nama Sri Rajasa sang Amurwabumi. Pentahbisannya ditonton para bujangga pemeluk agama Siwa dan Buddha dari Daha, khususnya Dang Hyang Lohgawe.

“Dia (Dandang Gendis, red.) berkonflik dengan rohaniawan, sampai-sampai mereka dirangkul oleh Angrok,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang.

Dwi berpikir Angrok cukup dapat membaca kondisi dengan menggali sokongan dari semua rohaniawan. Rohaniawan dinilai punya kekuatan. Pengikutnya loyal.

“Padahal dirinya terdapat latar preman, tapi dapat masuk ke pemerintahan Tumapel menggulingkan Tunggul Ametung, dan membangkang Daha dengan pertolongan Brahmana, khususnya Lohgawe,” lanjutnya.

Angrok menikahi Ken Dedes pun bukan hanya perkara cinta. Dia mempertimbangkan status Mpu Purwa, agamawan dari Panawijen, yang paling disegani.

Kitab yang ditulis pada 1613 M tersebut juga berkisah soal rapat dewa di Gunung Lejar. Mereka lantas sepakat bila Angrok layak dinobatkan sebagai raja di Jawa.

Suwardono, sejarawan Malang, menjelaskan, urusan ini dapat dimaknai sebagai pertemuan figur yang memiliki status luhur pada masa itu. Sejumlah brahmana, khususnya Mpu Purwa dan Dang Hyang Lohgawe, bersatu guna menggulingkan Tunggul Ametung. Dia ialah akuwu (setara camat sekarang) di Tumapel, salah satu wilayah bawahan Kerajaan Kadiri.

“Melalui ini, Ken Angrok menemukan legitimasi atas kekuasaannya,” ujarnya.

Agaknya yang dilaksanakan Angrok tak jauh bertolak belakang dengan perpolitikan era sekarang. Menggandeng figur agamawan menjadi pilihan guna mendapat dukungan.

“Ini berulang. Polanya sama, walaupun detilnya beda,” kata Dwi.

Pada masa Hindu-Buddha, ruang belajar sosial agamawan bertolak belakang dengan politisi. Agamawan menempati ruang belajar tertinggi, Brahmana. Sementara pelaku pemerintahan dan militer berada di ruang belajar ksatria.

Para Brahmana pun lebih tidak sedikit ditemui di luar keraton, yakni di mandala kadewaguruan atau karesian. Namun, bukan berarti mereka tak terdapat di dalam birokrasi pemerintahan. Posisi mereka sebagai penasihat raja. Mereka menjadi unsur dari puruhita.

“Sebenarnya tidak saja kaum agamawan, family raja yang bersangkutan, khususnya yang senior pun tergabung dalam institusi itu,” kata Dwi.

Para agamawan pun seringkali menjadi pemandu calon raja. Contohnya, Airlangga yang melarikan diri dari keraton ke bukit Pucangan. Kini bukit tersebut ada salah satu Lamongan dan Jombang.

“Di situ, antara 1017-1019 M, Airlangga sedang di lingkungan rohaniawan. Dalam Prasasti Pucangan dikatakan, di tempat tersebut hidup tiga pengikut agamawan yang berbeda,” kata Dwi.

Di sana, Airlangga mendapat perlindungan dan mendapat  pelajaran bermunculan dan batin. Para brahmana menyiapkannya menjadi penguasa yang tangguh. Dalam Kakawin Arjunawiwaha, dia diibaratkan Arjuna yang menjadi pertapa.

“Ini serupa Lohgawe untuk Angrok. Dia pun berperan sebagai fasilitator, mediator, pemberi restu untuk Angrok supaya bisa masuk ke lingkungan Akuwu Tumapel,” jelas Dwi.

Airlangga pun lantas dinobatkan sebagai Raja Kahuripan. Dia meneruskan dominasi Mataram Kuno yang melemah di era dominasi mertuanya, Dharmawangsa Teguh. Ketika itu, dominasi Mataram pecah menjadi kerajaan kecil.

Airlangga dinobatkan oleh semua brahmana. Berdasarkan keterangan dari Dwi, kondisi tersebut menunjukkan, rohaniawan punya kekuatan tak sepele. Mereka dapat menyiapkan dan menobatkan seseorang menjadi penguasa. Bahkan di era konflik.

“Ini menarik, menyaksikan bagaimana komunitas agama mentahbiskan raja sekaligus menjadi legitimator, pengabsah dominasi Airlangga. Otomatis ini back up di awal,” kata Dwi.

Dukungan kaum agamawan di era konflik pun ditemukan pada masa Islam. Pada 1742, terjadi penentangan oleh orang-orang Tionghoa. Pakubuwono II juga tersingkir dari keratonnya di Kartasura. Sang susuhunan lantas melarikan diri ke Pondok Tegalsari. Di sana dia mendapat perlindungan dari Kyai Hasan besari.

“Bekas santri di sana yang telah jadi kyai di wilayah lain lantas dikerahkan ke Tegalsari. Mereka ikut mem-back up posisi PB II, mengembalikannya ke takhta yang pindah ke Surakarta," jelas Dwi.

Kisah-kisah dari masa lalu tersebut menunjukkan, andai mendapat sokongan rohaniawan yang disegani, otomatis diperoleh pula sokongan pengikutnya. Kekuataannya paling besar, sebab didasari keyakinan. Kayakinan ini lantas membentuk jejaring yang saling mendukung.

Bukan hanya pesantren, kata Dwi, mandala kadewaguruan (karesian) pada masa Hindu Buddha juga punya jaringan kuat. Contoh nyatanya, di Malang pada masa kemudian terdapat suatu mandala mempunyai nama kasturi. Pada perkembangannya, mandala ini berjejaring menjadi lima mandala kasturi.

"Ada jejaring. Ini yang secara politik diperhitungkan," ujar Dwi.

Para rohaniawan di masa lalu diandalkan  pula punya status yang netral. Terutama rohaniawan yang bermukim di luar keraton.

“Karenanya tak gampang mendapat sokongan rohaniawan. Mereka bukan tanpa pertimbangan, mengkalkulasi dulu apakah orang-orang tersebut amanah atau tidak,” ujar Dwi.

Dukungan dari kaum agamawan semenjak masa kemudian selalu dirasakan penting. Terutama pada ketika konflik pun perebutan takhta. “Siapa yang bisa back up dari agamawan, mendapat semacam fasilitas untuk menang,” tegas Dwi.