TANGIS SOEKARNO SAAT HUKUMAN MATI KARTOSOEWIRYO

Bung Karno dan Kartosuwiryo adalahsahabat karib sama-sama berguru untuk Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto di area Peneleh, Surabaya.


Roso Daras menyebutkan di kitab Bung Karno Vs Kartosuwiryo, Serpihan Sejarah Yang Tercecer mengenai pertemanan Soekarno dan Kartosuwiryo.

Kisah itu berawal dari pesan Tjokroaminoto yang menyatakan, "Jika kalian hendak menjadi pemimpin besar, menulislah laksana wartawan, dan bicaralah laksana orator".

Pesan tersebut sangat dikenang Soekarno, sampai setiap malam dia tidak jarang kali belajar pidato.

Setiap Soekarno belajar berpidato, suaranya yang lantang terdengar paling mengganggu kawan-kawannya yang pun tinggal di lokasi tinggal Tjokroaminoto, laksana Muso, Alimin, Kartosuwiryo, dan Darsono. Tidak jarang, mereka yang mendengar tertawa.

Bahkan, tidak jarang kali ketika Soekarno sedang belajar berpidato, kawan-kawannya yang lebih senior memintanya guna berhenti, sebab merasa terganggu.

Namun, Soekarno tetap melanjutkan pidatonya di depan kaca, di dalam kamarnya yang gelap.

Salah seorang sahabat Soekarno di lokasi tinggal Tjokroaminoto yang tidak pernah jenuh memberikan kritik atas pidato-pidatonya ialah Kartosuwiryo.

Namun, sering kritik yang dilontarkan Kartosuwiryo lebih untuk ejekan.

“Hei Karno, bikin apa berpidato di depan kaca? Seperti orang tak waras saja,” kata Kartosuwiryo, sebuah kali, untuk Soekarno yang tengah belajar berpidato.

Mendengar celetukan itu, Soekarno diam saja terus melanjutkan pidatonya.

Setelah pidatonya selesai, dia baru membalas cibiran Kartosuwiryo. Kalimat kesatunya ialah penjelasan mengapa dia belajar berpidato sebagai persiapan guna menjadi orang besar. Pada kalimat kedua, Soekarno baru membalas cibiran kawannya itu.

"Tidak laksana kamu, telah kurus, kecil, pendek, keriting, mana dapat jadi orang besar!.” ucap Soekarno dibarengi oleh tawa keduanya.

Peristiwa tersebut terjadi di lokasi tinggal Tjokroaminoto, sampai keduanya tumbuh dewasa.

Impian Soekarno guna menjadi orang besar terwujud. Meletusnya penentangan komunis 1926-1927, membukakan jalan baginya untuk menegakkan partai politik yang bercorak nasionalis.

Sementara Kartosuwiryo terus berusaha bersama Tjokroaminoto. Dia bahkan menjadi sekretaris individu Tjokroaminoto, dan memilih Islam sebagai ideologi perjuangannya.

Buku-buku marxisme yang dibacanya sama sekali tidak memengaruhinya guna menjadi merah, dan ke kiri-kirian, seperti banyak sekali temannya.

Sebaliknya, ideologi Islam yang diperjuangkannya malah semakin kuat. Dengan marxisme sebagai pisau analisa, pemikiran Kartosoewirjo mengenai penghisapan kapitalisme semakin tajam, dan kritis. Karir politiknya juga terus melonjak.

Perpecahan mulai timbul sesudah Soekarno-Hatta memproklamasikan kebebasan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Terjadi tarik unik kekuatan arah republik, antara yang menghendaki negara Uni Belanda, negara komunis, dan negara Islam.

Soekarno serap tidak sedikit ideologi

Soekarno yang menyerap memiliki tidak sedikit ideologi, mulai dari marxis, Alquran dan Islam, serta buku lainnya tidak hendak Indonesia menjadi negara Uni Belanda, komunis, dan berazaskan Islam. Sebaliknya, dia menawarkan asaz Pancasila.

Menurutnya, Pancasila ialah ideologi yang tumbuh dari bumi pertiwi, cocok dengan pergulatan batin, intelektual, dan kebiasaan luhur bangsa.

Usulan Pancasila ini kemudian dikatakan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945.

Perlawanan hebat kesatu-tama datang dari pihak komunis. Tahun 1948, kumpulan Muso memproklamirkan Negara Madiun sebagai poros Soviet. Peristiwa yang dikenal dengan Pemberontakan Madiun ini dengan gampang ditumpas Pemerintah Republik.

Pemberontakan hebat selanjutnya datang dari Kartosuwiryo, ketika diproklamasikannya Negara Islam Indonesia (NII), di Tasikmalaya, pada 7 Agustus 1949.

Pemberontakan ini bahkan mampu menyebar ke Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan.

Pemberontakan Kartosuwiryo sukses ditumpas. Ia diciduk oleh pasukan TNI di Gunung Geber, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962.

Dia kemudian dijatuhi hukuman mati. Yang menyedihkan, surat hukuman mati tersebut ditandatangani oleh Soekarno.

Sempat terjadi pergolakan hebat dalam batin Soekarno, ketika harus membunuh kawan karibnya sendiri, saudara seperguruan, dan rekan seperjuangannya Kartosuwiryo.

Tanpa tanda tangan Soekarno, pasti Kartosuwiryo tidak bakal ditembak mati.

Proses eksekusi terhadap Kartosuwiryo sempat tertunda sampai tiga bulan. Sebabnya, Soekarno tidak jarang kali menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri Kartosuwiryo, manakala berkas tersebut berada di atas meja kerjanya.

Peristiwa ini sempat menciptakan Soekarno frustasi, sampai akhirnya dia lempar berkas vonis itu ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya.

Saat itu, putrinya Megawati Soekarnoputri lah yang menyadarkan sang ayah.

Megawati mencerminkan luhurnya esensi pertemanan sejati, tetapi dia mengingatkan Soekarno supaya menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, serta tidak mencampur-adukkan antara esensi persahabatan dengan tugasnya.

Akhirnya, pada September 1962, sesudah lama tercenung di meja kerjanya, dia menggoreskan tanda tangannya di atas berkas vonis Kartosuwiryo. Seketika, dia ingat hari-hari bareng Kartosuwiryo di medan perang.


Seakan masih tersiar canda dan tawa, serta diskusi-diskusi politik, agama, kebangsaan, dan apa saja yang begitu hangat dengan sahabatnya itu.

Dia lalu memungut selembar potret Kartosuwiryo, dan menatapnya lama-lama, seraya berlinangan air mata. Saat melihat potret sahabatnya itu, Soekarno tersenyum dan berkata,

“Sorot matanya masih tetap. Sorot matanya masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang pejuang.”

Soekarno menangis di depan Mayjen S Parman (Asisten I/Menpangad) Kejadiannya di satu pagi pada tahun 1964, S Parman membawa surat keputusan eksekusi mati pada Kartosuwiryo.

Soekarno tidak powerful menandatangani surat hukuman mati pada rekan kecilnya itu.

Lalu ia meminta S Parman kembali sesudah Maghrib, sepanjang hari tersebut Soekarno gelisah. Ia shalat terus menerus dan berdoa, barulah seusai maghrib ia menandatangani surat eksekusi.

Inilah surat eksekusi yang selalu dikenang Soekarno sebab memang ini melulu satu-satunya surat eksekusi kematian yang pernah ditandanganinya.

Pemerintah Indonesia lantas menghukum mati Kartosuwiryo, pada 5 September 1962, di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.