Berdasarkan babad yang berkembang di sana, Desa Banyubiru dulu mendapat sebutan ”Tanah Perdikan Banyubiru” dari Kerajaan Demak.
Tanah perdikan merupakan sebidang tanah yang diberi hak istimewa bersama dengan tidak di punguti pajak. Biasanya, tanah perdikan diberikan kepada orang-orang yang berjasa kepada sang raja yang memerintah, atau terhitung biasa diberikan kepada para pendeta-pendeta Hindu pada waktu itu.
Daerah tanah perdikan yang diberikan kepada pendeta-pendeta Hindu umumnya dibangun candi atau lingga.
Masyarakat di kira-kira candi diberikan keunggulan untuk tidak membayar pajak bersama dengan syarat, mereka mesti memelihara dan memelihara candi tersebut.
Namun, kecuali untuk Desa Banyubiru jadi tanah perdikan, disebabkan karena pendiri Banyubiru yakni Ki Ageng Sora Dipoyono adalah seorang panglima perang di bawah Adipati Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor pada waktu perang Malaka mengusir penjajah Portugis,
supaya beroleh penghargaan memimpin suatu daerah, yakni Tanah Banyubiru bersama dengan standing tanah perdikan karena pengabdian yang luar biasa pada Kerajaan Demak pada waktu itu. Tanah perdikan ini umumnya dikenal bersama dengan makna sima di waktu Kerajaan Hindu tetap eksis.
Sejarah Ki Ageng Banyu Biru (Kyai Ageng Gajah Sora)
Ki Ageng Banyu Biru adalah pemimpin sebuah padepokan ( Sampai saat ini aku tidak sadar tentu dimana letak Padepokan Banyu Biru). Banyak para siswa yang berguru kepada beliau.
Ki Ageng Banyu Biru mempunyai dua orang adik laki-laki. Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil. Disana, udah lebih dari satu waktu yang lama, udah menetap dan berguru seorang pemuda keturunan Prabhu Brawijaya V, Ki Mas Manca.
Ki Mas Manca adalah keturunan Arya Jambuleka II. Sedangkan Arya Jambuleka II adalah putra Arya Jambuleka I. Dan Arya Jambuleka I adalah putra selir Prabhu Brawijaya V.
Ki Ageng Banyu Biru yang waskita batinnya, pagi itu memerintahkan para siswa membersihkan Padepokan.
Tak tersedia yang sadar apa maksud beliau. Hanya Ki Mas Manca yang diberitahu bahwasanya sore hari nanti, dapat mampir seorang tamu keturunan Prabhu Brawijaya V yang hendak berguru ke padepokan tersebut.
Dan benar, menjelang selesai sandhya sore atau sembahyang sore, seorang pemuda nampak memasuki Padepokan dan juga menghendaki ijin kepada seorang cantrik (siswa) untuk berjumpa bersama dengan Ki Ageng Banyu Biru.
Cantrik berikut langsung menghadap Ki Ageng. Dan Ki Ageng dan juga merta memerintahkan Ki Mas Manca untuk menyambut kedatangan pemuda berikut yang tak lain adalah Jaka Tingkir!
Jaka Tingkir terperanjat terhitung mendapati kedatangannya disambut sedemikian rupa oleh Ki Ageng. Rupanya beliau udah sadar tentu bahwa pada sore hari itu, dia dapat mampir kesana.
Didepan Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir menceritakan apa sebabnya hingga dirinya hingga ke Padepokan Banyu Biru. Berhari-hari Jaka Tingkir berusaha melacak letak padepokan tersebut, dan pada kelanjutannya berkat Hyang Widdhi, dia hingga terhitung dan mampu berjumpa langsung bersama dengan Ki Ageng Banyu Biru.
Ki Ageng Banyu Biru memperkenalkan Ki Mas Manca kepada Jaka Tingkir. Kedua pemuda keturunan Majapahit itu saling berpelukan bahagia. Bahkan, Ki Mas Manca sedemikian bahagianya sampai-sampai menitikkan air mata.
Ki Ageng Banyu Biru memerintahkan Jaka Tingkir berdiam di Padepokan untuk waktu waktu. Dengan ditemani Ki Mas Manca, Jaka Tingkir mempelajari beraneka macam pengetahuan dari Ki Ageng Banyu Biru.
Kini, Jaka Tingkir lebih mendalami Ilmu Kesempurnaan yang berasal dari butir-butir Upanishad Weda. Jaka Tingkir terlalu mendalami Ilmu tinggi tersebut.
Berbulan-bulan Jaka Tingkir digembleng bersama dengan Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi. Kecerdasaan dan kesungguhan Jaka Tingkir membawa dampak Ki Ageng terlalu menyayanginya. Berbagai lontar-lontar rahasia Shiwa Buddha bersama dengan gampang dikuasai Jaka Tingkir.
Hanya dalam lebih dari satu bulan, kemajuan spiritual Jaka Tingkir udah sedemikian pesatnya. Jaka Tingkir yang dulu lebih mumpuni dalam Olah Kanuragan, kini, Kesadaran spiritual-nya terlalu terasah tajam berkat Ki Ageng Banyu Biru.
Ki Ageng Banyu Biru bangga lihat perkembangan Jaka Tingkir.
Dan manakala udah dirasa cukup, Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Jaka Tingkir untuk turun dari Padepokan.
Konon, dari Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir beroleh Aji Lembu Sekilan, yakni sebuah pengetahuan kesaktian yang langka, yang bermanfaat untuk memelihara tubuh dari beraneka serangan dalam batas satu jengkal jari ( satu jengkal jari dalam bahasa Jawa adalah sekilan ). Konon pula, pengetahuan ini menyerap daya Lembu Andini, seorang Atma Suci yang berbentuk seekor Lembu dan jadi tunggangan Shiwa Mahadewa.
Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil untuk menemani Jaka Tingkir. Sebelum meninggalkan padepokan, Ki Ageng menambahkan sebuah taktik jitu kepada Jaka Tingkir supaya mampu kembali di terima oleh Sultan Trenggana.
Pada setiap musim penghujan, Sultan Trenggana tentu meninggalkan ibu kota Demak dan berdiam diri di Pegunungan Prawata. Banjir seringkali melanda ibu kota Demak. Dan tidak banyak yang sadar bahwasanya Sultan kerapkali berdiam diri di Pegunungan Prawata tiap kali musim banjir tiba. Hanya para Pasukan Pengawal Sultan saja yang mengetahuinya.
Untuk kembali beroleh keyakinan Sultan Trenggana, Ki Ageng Banyu Biru menganjurkan kepada Jaka Tingkir membawa dampak sebuah keonaran bersama dengan menghendaki dukungan lebih dari satu gerilyawan Majapahit.
Keonaran berikut mesti mampu mengancam keselamatan Sultan Trenggana yang tengah bermukin di Pegunungan Prawata. Dapat dipastikan, tidak bakalan banyak prajurid angkatan bersenjata Demak yang berada disana.
Sebelum pasukan dukungan Demak mampir dari Demak menuju Pegunungan Prawata, Jaka Tingkirharus secepatnya tampil jadi sosok penyelamat. Dengan demikian, Sultan tentu dapat kembali menaruh keyakinan kepada Jaka Tingkir.
Pada hari yang ditentukan, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil-pun berangkat. Tujuan mereka adalah Pegunungan Prawata.
Tanah perdikan merupakan sebidang tanah yang diberi hak istimewa bersama dengan tidak di punguti pajak. Biasanya, tanah perdikan diberikan kepada orang-orang yang berjasa kepada sang raja yang memerintah, atau terhitung biasa diberikan kepada para pendeta-pendeta Hindu pada waktu itu.
Daerah tanah perdikan yang diberikan kepada pendeta-pendeta Hindu umumnya dibangun candi atau lingga.
Masyarakat di kira-kira candi diberikan keunggulan untuk tidak membayar pajak bersama dengan syarat, mereka mesti memelihara dan memelihara candi tersebut.
Namun, kecuali untuk Desa Banyubiru jadi tanah perdikan, disebabkan karena pendiri Banyubiru yakni Ki Ageng Sora Dipoyono adalah seorang panglima perang di bawah Adipati Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor pada waktu perang Malaka mengusir penjajah Portugis,
supaya beroleh penghargaan memimpin suatu daerah, yakni Tanah Banyubiru bersama dengan standing tanah perdikan karena pengabdian yang luar biasa pada Kerajaan Demak pada waktu itu. Tanah perdikan ini umumnya dikenal bersama dengan makna sima di waktu Kerajaan Hindu tetap eksis.
Sejarah Ki Ageng Banyu Biru (Kyai Ageng Gajah Sora)
Ki Ageng Banyu Biru adalah pemimpin sebuah padepokan ( Sampai saat ini aku tidak sadar tentu dimana letak Padepokan Banyu Biru). Banyak para siswa yang berguru kepada beliau.
Ki Ageng Banyu Biru mempunyai dua orang adik laki-laki. Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil. Disana, udah lebih dari satu waktu yang lama, udah menetap dan berguru seorang pemuda keturunan Prabhu Brawijaya V, Ki Mas Manca.
Ki Mas Manca adalah keturunan Arya Jambuleka II. Sedangkan Arya Jambuleka II adalah putra Arya Jambuleka I. Dan Arya Jambuleka I adalah putra selir Prabhu Brawijaya V.
Ki Ageng Banyu Biru yang waskita batinnya, pagi itu memerintahkan para siswa membersihkan Padepokan.
Tak tersedia yang sadar apa maksud beliau. Hanya Ki Mas Manca yang diberitahu bahwasanya sore hari nanti, dapat mampir seorang tamu keturunan Prabhu Brawijaya V yang hendak berguru ke padepokan tersebut.
Dan benar, menjelang selesai sandhya sore atau sembahyang sore, seorang pemuda nampak memasuki Padepokan dan juga menghendaki ijin kepada seorang cantrik (siswa) untuk berjumpa bersama dengan Ki Ageng Banyu Biru.
Cantrik berikut langsung menghadap Ki Ageng. Dan Ki Ageng dan juga merta memerintahkan Ki Mas Manca untuk menyambut kedatangan pemuda berikut yang tak lain adalah Jaka Tingkir!
Jaka Tingkir terperanjat terhitung mendapati kedatangannya disambut sedemikian rupa oleh Ki Ageng. Rupanya beliau udah sadar tentu bahwa pada sore hari itu, dia dapat mampir kesana.
Didepan Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir menceritakan apa sebabnya hingga dirinya hingga ke Padepokan Banyu Biru. Berhari-hari Jaka Tingkir berusaha melacak letak padepokan tersebut, dan pada kelanjutannya berkat Hyang Widdhi, dia hingga terhitung dan mampu berjumpa langsung bersama dengan Ki Ageng Banyu Biru.
Ki Ageng Banyu Biru memperkenalkan Ki Mas Manca kepada Jaka Tingkir. Kedua pemuda keturunan Majapahit itu saling berpelukan bahagia. Bahkan, Ki Mas Manca sedemikian bahagianya sampai-sampai menitikkan air mata.
Ki Ageng Banyu Biru memerintahkan Jaka Tingkir berdiam di Padepokan untuk waktu waktu. Dengan ditemani Ki Mas Manca, Jaka Tingkir mempelajari beraneka macam pengetahuan dari Ki Ageng Banyu Biru.
Kini, Jaka Tingkir lebih mendalami Ilmu Kesempurnaan yang berasal dari butir-butir Upanishad Weda. Jaka Tingkir terlalu mendalami Ilmu tinggi tersebut.
Berbulan-bulan Jaka Tingkir digembleng bersama dengan Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi. Kecerdasaan dan kesungguhan Jaka Tingkir membawa dampak Ki Ageng terlalu menyayanginya. Berbagai lontar-lontar rahasia Shiwa Buddha bersama dengan gampang dikuasai Jaka Tingkir.
Hanya dalam lebih dari satu bulan, kemajuan spiritual Jaka Tingkir udah sedemikian pesatnya. Jaka Tingkir yang dulu lebih mumpuni dalam Olah Kanuragan, kini, Kesadaran spiritual-nya terlalu terasah tajam berkat Ki Ageng Banyu Biru.
Ki Ageng Banyu Biru bangga lihat perkembangan Jaka Tingkir.
Dan manakala udah dirasa cukup, Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Jaka Tingkir untuk turun dari Padepokan.
Konon, dari Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir beroleh Aji Lembu Sekilan, yakni sebuah pengetahuan kesaktian yang langka, yang bermanfaat untuk memelihara tubuh dari beraneka serangan dalam batas satu jengkal jari ( satu jengkal jari dalam bahasa Jawa adalah sekilan ). Konon pula, pengetahuan ini menyerap daya Lembu Andini, seorang Atma Suci yang berbentuk seekor Lembu dan jadi tunggangan Shiwa Mahadewa.
Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil untuk menemani Jaka Tingkir. Sebelum meninggalkan padepokan, Ki Ageng menambahkan sebuah taktik jitu kepada Jaka Tingkir supaya mampu kembali di terima oleh Sultan Trenggana.
Pada setiap musim penghujan, Sultan Trenggana tentu meninggalkan ibu kota Demak dan berdiam diri di Pegunungan Prawata. Banjir seringkali melanda ibu kota Demak. Dan tidak banyak yang sadar bahwasanya Sultan kerapkali berdiam diri di Pegunungan Prawata tiap kali musim banjir tiba. Hanya para Pasukan Pengawal Sultan saja yang mengetahuinya.
Untuk kembali beroleh keyakinan Sultan Trenggana, Ki Ageng Banyu Biru menganjurkan kepada Jaka Tingkir membawa dampak sebuah keonaran bersama dengan menghendaki dukungan lebih dari satu gerilyawan Majapahit.
Keonaran berikut mesti mampu mengancam keselamatan Sultan Trenggana yang tengah bermukin di Pegunungan Prawata. Dapat dipastikan, tidak bakalan banyak prajurid angkatan bersenjata Demak yang berada disana.
Sebelum pasukan dukungan Demak mampir dari Demak menuju Pegunungan Prawata, Jaka Tingkirharus secepatnya tampil jadi sosok penyelamat. Dengan demikian, Sultan tentu dapat kembali menaruh keyakinan kepada Jaka Tingkir.
Pada hari yang ditentukan, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil-pun berangkat. Tujuan mereka adalah Pegunungan Prawata.