Kiai Hamid Dimyathi Adalah pengasuh Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Semasa hidupnya ia aktif dalam pergerakan nasional dan pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Tahun 1948 saat Peristiwa Madiun, ia berserta kawannya ditahan di Baturetno, lalu dieksekusi mati oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Diperkirakan ia lahir pad awal tahun 1900-an. Ia putra K.H. Dimyathi bin K.H. Abdullah. Mula-mula ia belajar gama kepada ayahnya. Kemudian ia nyantri kepada Kiai Ma’shum di Lasem, Rembang, bersama adiknya, Habib Dimyathi.
Pesantren Lasem dan Pesantren Tremas punya hubungan dekat karena Kiai Ma’shum sendiri pernah berguru kepada Kiai Dimyathi di Tremas. Demikian pula putra sulung Kiai Ma’shum, Kiai Ali Maksum, pernah berguru ke Kiai Hamid di Tremas.
Pulang dari Lasem, Hamid kembali ke Tremas, membantu ayahnya membina dan mengembangkan Pesantren Tremas. Ia melanjutkan kepemimpina ayahnya yang wafat pada 1934. Di antara santrinya yang terkenal, selain K.H. Ali Maksum Krapyak, adalah Kiai Hamid Pasuruan (yang ngaji bersama Kiai Ali di Tremas pada tahun 1930-an) dan Mukti Ali (mantan Menteri Agama).
Waktu itu jumlah santri Tremas mencapai sekitar 2000 orang. Dan memang Tremas menjadi dambaan kaum santri untuk berguru dan menjadi kiblat keilmuan para santri kelana. Padawaktu itu Pesantren Tremas dikenal mengalami era keemasan – hingga santri-santrinya pun ada yang berasal dari mancanegara.
Tak hanya mengurus pesantren, Kiai Hamid juga ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Pada masa pendudukan Jepang, beliau menjadi anggota Shu Sangi Kai atau Dewan Pertimbangan Daerah di Madiun, serta menjadi anggota Badan Penasihat Gerakan Pencak Silat seluruh Jawa dan Madura.
Setelah Proklamasi, Kiai Hamid menjadi Kepala Penghulu Pacitan dan terpilih sebagai anggota KNIP. Ia juga aktif dalam Partai Masyumi, yang kala itu merupakan satu-satunya partai umat Islam. Kiai Hamid juga akrab dengan para pejuang kemerdekaan seperti Bung Tomo.
Ia pernah diajak komandan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) itu ke Surabaya dalam rangka mengobarkan semangat perjuangan para ulama dan kiai menjelang pertempuran 10 November 1945. Tapi Kiai Hamid lebih memilih untuk berkonsentrasi di Pacitan.
Pada masa pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948, Pacitan betul-betul berada dalam situasi gawat. Tidak terkecuali Pesantren Tremas. Hampir semua santri Tremas dipulangkan ke tempat asalnya masing-masing – untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Maklum, waktu itu orang-orang FDR/PKI gencar mencari kalangan ulama dan santri sebagai targetnya. Untuk menghadapi situasi sulit itu, bersama 14 anggota pasukan pengawalnya, Kiai Hamid berangkat menuju Yogyakarta dalam keadaan menyamar. Namun, ketika tiba di daerah Pracimantoro, ia bersama pengiringnya ditangkap gerombolan FDR/PKI yang memang sudah menguasai daerah itu.
Mereka ditahan di Baturetno, lalu dieksekusi mati di Tirtomoyo. Ketiga daerah ini berada di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Hanya seorang pengawalnya yang berhasil lolos dari peristiwa itu. Kiai Hamid dikubur bersama 13 anggotanya itu dalam satu lubang.
Menurut kesaksian Soimun, anggota pasukannya yang lolos itu, beberapa bulan setelah Peristiwa Madiun, ada upaya penggalian terhadap kuburan para syuhada pembela agama dan bangsa itu. Setelah digali, ditemukan ada 13 jenazah (dari jumlah 14 orang yang terbunuh) yang sudah mulai rusak sehingga tidak dapat dikenali lagi.
Termasuk yang mana jenazah Kiai Hamid Dimyathi. Akhirnya semuanya dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Jurug, Surakarta, dan dimakamkan tanpa satu identitas pun di atas pusara mereka.
Ternyata, bukan cuma Kiai Hamid. Segenap kiai dan sesepuh Pesantren Tremas juga ditangkap. Mereka adalah K.H. Abdur Rozak (tokoh tarekat dan paman Kiai Hamid), K.H. Habib Dimyathi, K.H. Haris Dimyathi (adik kandung Kiai Hamid) dan K.H. Hasyim Ikhsan (sepupu K.H. Hamid).
Mereka akhirnya bisa diselamatkan oleh pasukan Divisi Siliwangi yang dikomandani oleh Achmad Wiranatakusumah, putra Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah, yang dikenal santri dan cinta ulama itu. Mereka dibebaskan pada 15 Oktober 1948 dari Penjara Pacitan, dan hampir saja dieksekusi pasukan FDR/PKI.
Setelah Kiai Hamid wafat, kepemimpinan Pesantren Tremas dilanjutkan oleh adiknya, Kiai Habib Dimyath. Ia dibantu saudara dan sepupunya untuk membangun kembali pesantren hingga tetap eksis dan berkembang hingga sekarang ini.
Sumber: Muhamad, Pondok Pesantren Tremas dan Perkembangannya (1988); tremas.net.id.
Tahun 1948 saat Peristiwa Madiun, ia berserta kawannya ditahan di Baturetno, lalu dieksekusi mati oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Diperkirakan ia lahir pad awal tahun 1900-an. Ia putra K.H. Dimyathi bin K.H. Abdullah. Mula-mula ia belajar gama kepada ayahnya. Kemudian ia nyantri kepada Kiai Ma’shum di Lasem, Rembang, bersama adiknya, Habib Dimyathi.
Pesantren Lasem dan Pesantren Tremas punya hubungan dekat karena Kiai Ma’shum sendiri pernah berguru kepada Kiai Dimyathi di Tremas. Demikian pula putra sulung Kiai Ma’shum, Kiai Ali Maksum, pernah berguru ke Kiai Hamid di Tremas.
Pulang dari Lasem, Hamid kembali ke Tremas, membantu ayahnya membina dan mengembangkan Pesantren Tremas. Ia melanjutkan kepemimpina ayahnya yang wafat pada 1934. Di antara santrinya yang terkenal, selain K.H. Ali Maksum Krapyak, adalah Kiai Hamid Pasuruan (yang ngaji bersama Kiai Ali di Tremas pada tahun 1930-an) dan Mukti Ali (mantan Menteri Agama).
Waktu itu jumlah santri Tremas mencapai sekitar 2000 orang. Dan memang Tremas menjadi dambaan kaum santri untuk berguru dan menjadi kiblat keilmuan para santri kelana. Padawaktu itu Pesantren Tremas dikenal mengalami era keemasan – hingga santri-santrinya pun ada yang berasal dari mancanegara.
Tak hanya mengurus pesantren, Kiai Hamid juga ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Pada masa pendudukan Jepang, beliau menjadi anggota Shu Sangi Kai atau Dewan Pertimbangan Daerah di Madiun, serta menjadi anggota Badan Penasihat Gerakan Pencak Silat seluruh Jawa dan Madura.
Setelah Proklamasi, Kiai Hamid menjadi Kepala Penghulu Pacitan dan terpilih sebagai anggota KNIP. Ia juga aktif dalam Partai Masyumi, yang kala itu merupakan satu-satunya partai umat Islam. Kiai Hamid juga akrab dengan para pejuang kemerdekaan seperti Bung Tomo.
Ia pernah diajak komandan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) itu ke Surabaya dalam rangka mengobarkan semangat perjuangan para ulama dan kiai menjelang pertempuran 10 November 1945. Tapi Kiai Hamid lebih memilih untuk berkonsentrasi di Pacitan.
Pada masa pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948, Pacitan betul-betul berada dalam situasi gawat. Tidak terkecuali Pesantren Tremas. Hampir semua santri Tremas dipulangkan ke tempat asalnya masing-masing – untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Maklum, waktu itu orang-orang FDR/PKI gencar mencari kalangan ulama dan santri sebagai targetnya. Untuk menghadapi situasi sulit itu, bersama 14 anggota pasukan pengawalnya, Kiai Hamid berangkat menuju Yogyakarta dalam keadaan menyamar. Namun, ketika tiba di daerah Pracimantoro, ia bersama pengiringnya ditangkap gerombolan FDR/PKI yang memang sudah menguasai daerah itu.
Mereka ditahan di Baturetno, lalu dieksekusi mati di Tirtomoyo. Ketiga daerah ini berada di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Hanya seorang pengawalnya yang berhasil lolos dari peristiwa itu. Kiai Hamid dikubur bersama 13 anggotanya itu dalam satu lubang.
Menurut kesaksian Soimun, anggota pasukannya yang lolos itu, beberapa bulan setelah Peristiwa Madiun, ada upaya penggalian terhadap kuburan para syuhada pembela agama dan bangsa itu. Setelah digali, ditemukan ada 13 jenazah (dari jumlah 14 orang yang terbunuh) yang sudah mulai rusak sehingga tidak dapat dikenali lagi.
Termasuk yang mana jenazah Kiai Hamid Dimyathi. Akhirnya semuanya dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Jurug, Surakarta, dan dimakamkan tanpa satu identitas pun di atas pusara mereka.
Ternyata, bukan cuma Kiai Hamid. Segenap kiai dan sesepuh Pesantren Tremas juga ditangkap. Mereka adalah K.H. Abdur Rozak (tokoh tarekat dan paman Kiai Hamid), K.H. Habib Dimyathi, K.H. Haris Dimyathi (adik kandung Kiai Hamid) dan K.H. Hasyim Ikhsan (sepupu K.H. Hamid).
Mereka akhirnya bisa diselamatkan oleh pasukan Divisi Siliwangi yang dikomandani oleh Achmad Wiranatakusumah, putra Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah, yang dikenal santri dan cinta ulama itu. Mereka dibebaskan pada 15 Oktober 1948 dari Penjara Pacitan, dan hampir saja dieksekusi pasukan FDR/PKI.
Setelah Kiai Hamid wafat, kepemimpinan Pesantren Tremas dilanjutkan oleh adiknya, Kiai Habib Dimyath. Ia dibantu saudara dan sepupunya untuk membangun kembali pesantren hingga tetap eksis dan berkembang hingga sekarang ini.
Sumber: Muhamad, Pondok Pesantren Tremas dan Perkembangannya (1988); tremas.net.id.