Setelah nyaris 70 tahun kematiannya, nama Tan Malaka masih laksana hantu gentayangan. Manusia laksana apakah sebetulnya dia?
Sewindu yang lalu, di desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, ditemukan saldo belulang atas nama Tan Malaka. Tempat itu dipercayai sebagai pusara Tan Malaka yang ditembak mati atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan unsur Divisi IV Jawa Timur, 21 Februari 1949. Kesimpulan itu dijamin setelah semua peneliti mencocokan DNA yang terdapat dalam kerangka itu dengan DNA keponakan Tan Malaka.
“Tapi sebab ada kekuatan yang tidak dapat saya mengerti, sampai hari ini Tan Malaka belum mempunyai makam yang layak,” kata sejarawan Harry Poeze untuk Historia.
Sebagai aktivis cum intelektual zaman pergerakan kemerdekaan, sosok Tan Malaka masih berselubung misteri. Jejak sejarahnya dikaburkan sekitar masa kuasa Orde Baru. Nama Tan masuk dalam kategori tokoh terlarang guna diperkenalkan dalam narasi sejarah resmi. Sebabnya ialah ideologi Marxisme yang dianut Tan. Bahkan kuatnya sensitifitas saat membicarakan sosok Tan Malaka masih dilangsungkan hingga kini.
Jejak perjuangan Tan Malaka minimal terekam lewat buah pemikirannya saat dia mencatat risalah bertema Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925. Naar de Republiek Indonesia ialah manisfesto mengenai negara Indonesia yang bebas dari imperialisme. Tan mencatat konsepsinya jauh sebelum konsep Sukarno dalam Indonesia Menggugat (1930) dan Mohammad Hatta dalam Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka, 1928).
Selama 40 tahun menganalisis Tan Malaka, Harry Poeze mengurai sosok Tan Malaka dalam sekian banyak lakon. Berdasarkan keterangan dari penulis lima jilid biografi Tan Malaka itu, alam pikir Tan bahwasannya amat diprovokasi alam pikir Minangkabau. “Pendidikan dan kehidupan rantau,” kata Poeze ialah tradisi Minangkabau yang menempa jalan hidup Tan menjadi seorang pejuang intelektual. Hal ini menjadikan Tan sebagai seorang pelahap pengetahuan dan ide-ide dari sekian banyak aliran.
“Sebelum berangkat ke Harleem, Belanda guna menempuh edukasi guru pada 1913, Tan Malaka telah khatam Al Qur’an. Itu sebabnya datuk-datuk (para tetua adat) mengoleksi dana guna menyekolahkan Tan Malaka ke negeri Belanda,” ujar Zulfikar, keponakan Tan Malaka.
Poeze pun menyebut Tan sebagai seorang pemikir dan filosof. Ini bisa terlihat dalam karya terpenting Tan Malaka, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika, 1943). Dalam Madilog, Tan mendekonstruksi pandangan kolot insan Indonesia yang masih percaya terhadap takhayul dan ketakutan yang tidak beralasan. Tan menyebutnya sebagai “Logika Mistika”.
Pendidik, nasionalis kiri, politisi praktis, sampai seorang legenda dalam mitos ialah lakon-lakon beda yang dilafalkan oleh Poeze mencerminkan Tan Malaka. Namun dari kesemuanya, Poeze memantapkan pandangan terhadap Tan Malaka dalam lakon yang saling bertentangan: seorang maha guru dan buronan abadi.
“Saya sendiri lebih menyaksikan Tan Malaka sebagai seorang maha guru dan buronan abadi,” kata Poeze.
Berdasarkan keterangan dari Poeze, Tan Malaka tidak punya obsesi menjadi seorang pemimpin politik. Tan Malaka lebih suka memposisikan dirinya sebagai promotor dari kaum muda. Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik, dan Maruto Nitimihardjo dikenal sebagai pengekor Tan Malaka dalam Partai Murba.
Tan Malaka, kata Poeze, “ibarat maha guru, orang di belakang layar yang memberi petunjuk untuk perjuangan politik Indonesia.”
Pengalaman dicap sebagai buronan, lanjut Poeze, mengakibatkan Tan Malaka sulit menjadi seorang pemimpin politik sekaliber Sukarno atau Hatta. Tan Malaka ialah buronan abadi. Sejak tahun 1924 sampai ajal hidupnya, dikuras untuk meloloskan diri dari sekian banyak kejaran mulai dari dinas rahasia Belanda sampai tentara Indonesia.
“Ini nasib yang tragis dari tokoh mempunyai nama Tan Malaka,” ujar Poeze.