Dianggap antek Belanda, kakak-adik seniman ini malah mengemban tugas rahasia dan riskan dari negara.
Randy Wirayudha
Agus Djajasoeminta yang ke Belanda dengan Beasiswa Malino membawa misi mata-mata (Foto: Dok Presentasi Amir Sidharta)
NYARIS masing-masing kata yang terbit dari mulut Aminuddin TH Siregar begitu menggebu saat melempar komentarnya soal sosok kakak-adik seniman kelahiran Banten, Agus Djajasoeminta dan Otto Djajasoentara (Djaja Bersaudara). Kritikus seni cum kandidat doktor sejarah seni Universitas Leiden, Belanda tersebut merasa peran mereka mesti diusung dalam sejarah bangsa berbekal kuas cat, bukan senjata.
Bukan berarti, Djaja Bersaudara tak berkontribusi dalam perjuangan angkat senjata dalam menjaga republik. Anggapan kegamangan revolusi yang dirasakan mereka di masa perjuangan 1945-1949 bukan sebab mereka tak punya nyali pasang badan terhadap desingan peluru musuh.
“Saya mengartikan bahwa mereka merasa, guna ikut berjuang, tak mesti gunakan senjata. Dengan pensil dan kuas cat juga yang menghasilkan karya, tersebut sudah tergolong perjuangan,” kata Aminuddin dalam diskusi bertema “Hidup dan Karya Djaja Bersaudara” di Festival Seni Multatuli yang digelar di pendopo Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten, Kamis (6/9/2018).
Aminuddin melanjutkan, Djaja Bersaudara sebenarnya, bahkan semenjak zaman pendudukan Jepang, sudah lancar terhadap dunia kemiliteran. “Otto Djaja kan ikut PETA (Pembela Tanah Air) juga. Di kemiliteran perbantuan Jepang tersebut juga Otto Djaja dapat kenal baik dengan Pak Harto (Presiden Soeharto), yang dulu pun ikut PETA. Berarti kan dia telah sadar bahwa dia bakal dipersiapkan Perang Asia Timur Raya,” lanjut Aminuddin.
Diskusi "Hidup dan Karya Djaja Bersaudara” di pendopo Museum Multatuli, Rangkasbitung (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
Pasca-proklamasi, dua-duanya meleburkan diri ke dalam Divisi Siliwangi. “Bahkan hingga 1946 Otto Djaja telah berpangkat mayor. Kalau diteruskan dapat jadi jenderal dia. Tapi kan dia di tahun 1946 tersebut pilih resign dan pulang jadi seniman lukis. Lantas mereka berdua berangkat ke Belanda dengan beasiswa Malino dari Belanda,” sambungnya.
Inge-Marie Holst dalam Dunia Sang Otto Djaja: 1916-2002 mengungkapkan, pertolongan dana (beasiswa) Malino adalahhasil Konferensi Malino 16-24 Juli 1946, konferensi di mana Gubernur-Jenderal Hubertus van Mook melobi Perdana Menteri Sutan Sjahrir di Sulawesi. Di samping upaya pembentukan negara federal, konferensi tersebut merilis keikhlasan Belanda mengongkosi para pelajar Indonesia belajar sekian banyak macam ilmu pengetahuan di Belanda.
Djaja Bersaudara, yang sejumlah lukisan mereka dibeli Van Mook ketika pameran di Jakarta, 20 Februari 1947, tergolong yang mendapatkannya. Bersama sebanyak mahasiswa lain, maka dua-duanya berangkat ke Negeri Tulip meski dirasakan pengkhianat.
“Mereka diolok-olok sebagai pengkhianat. Padahal di Indonesia masih masa revolusi, mereka justeru pergi ke Belanda. Semasa revolusi kan juga nyaris tidak ada daftar tentang mereka. Dalam satu majalah seni, mereka dirasakan antek Van Mook,” ujar Aminuddin.
Djaja Bersaudara Memata-matai Belanda?
Namun, pandangan bertolak belakang disuarakan Amir Sidharta, kurator Istana Kepresidenan dan Museum Universitas Pelita Harapan yang turut jadi penceramah di diskusi itu. Menurutnya, kecaman-kecaman pedas untuk Djaja bersaudara justru dipercayai hanya “taktik pengalihan saja”. Djaja Bersaudara diikutkan dalam Beasiswa Malino via restu Presiden Sukarno yang memberi tujuan khusus: memata-matai Belanda.
Beberapa Piagam Penghargaan dari Kementerian Pertahanan berhubungan Peran Agus Djaja di Masa Perjuangan
“Memang kalau dokumentasi atau dokumennya tidak ada sebab masalahnya kan tentu rahasia dan tidak umum. Atau barangkali sengaja terdapat yang mencatat (di media masa itu) guna mengecam mereka supaya seolah-olah mereka berkhianat pada republik. Ya supaya di Belanda mereka pun tidak dicurigai,” kata Amir.
Keyakinan Amir berangkat dari temuan pelbagai lampiran piagam dari Kementerian Pertahanan RI di kitab Agus Djaja dan Sejarah Seni Lukis Indonesia karya Solichin Salam. “Salah satu piagam melafalkan penghargaan atas perannya dalam intelligent service sebagai perwira (Divisi) Siliwangi berhubungan Agresi I (Aksi Militer Belanda terhadap Indonesia, 21 Juli 1947). Dan ini penghargaan khusus, bukan laksana pada lazimnya veteran pejuang lain,” jelasnya.
Amir pun memperkuat pandangannya dengan menanyakan langsung untuk Otto Djaja pada 2002. “Waktu ketemu Pak Otto, pun dia bilang dia ditugaskan ke Belanda (via beasiswa Malino) sebagai mata-mata oleh Bung Karno.” tambahnya.
Piagam-Piagam Agus Djaja dari Kementerian Pertahanan dan Kodam III Siliwangi atas Perannya dalam "Intelligent Service"
Otto memang menceritakan lebih dalam mengenai apa dan bagaimana pekerjaan telik sandinya bareng Agus Djaja di Belanda. “Sepertinya memang terdapat sesuatu yang lebih spesifik dan meyakinkan mengenai penugasan dan keterlibatan beliau di Belanda. Soal bagaimana memata-matainya, beliau sayangnya tak bercerita lebih detail ketika itu. Tapi ini menjadi bukti, meski mereka di Belanda-pun, tetap dirasakan berjuang,” tandasnya.
Randy Wirayudha
Agus Djajasoeminta yang ke Belanda dengan Beasiswa Malino membawa misi mata-mata (Foto: Dok Presentasi Amir Sidharta)
NYARIS masing-masing kata yang terbit dari mulut Aminuddin TH Siregar begitu menggebu saat melempar komentarnya soal sosok kakak-adik seniman kelahiran Banten, Agus Djajasoeminta dan Otto Djajasoentara (Djaja Bersaudara). Kritikus seni cum kandidat doktor sejarah seni Universitas Leiden, Belanda tersebut merasa peran mereka mesti diusung dalam sejarah bangsa berbekal kuas cat, bukan senjata.
Bukan berarti, Djaja Bersaudara tak berkontribusi dalam perjuangan angkat senjata dalam menjaga republik. Anggapan kegamangan revolusi yang dirasakan mereka di masa perjuangan 1945-1949 bukan sebab mereka tak punya nyali pasang badan terhadap desingan peluru musuh.
“Saya mengartikan bahwa mereka merasa, guna ikut berjuang, tak mesti gunakan senjata. Dengan pensil dan kuas cat juga yang menghasilkan karya, tersebut sudah tergolong perjuangan,” kata Aminuddin dalam diskusi bertema “Hidup dan Karya Djaja Bersaudara” di Festival Seni Multatuli yang digelar di pendopo Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten, Kamis (6/9/2018).
Aminuddin melanjutkan, Djaja Bersaudara sebenarnya, bahkan semenjak zaman pendudukan Jepang, sudah lancar terhadap dunia kemiliteran. “Otto Djaja kan ikut PETA (Pembela Tanah Air) juga. Di kemiliteran perbantuan Jepang tersebut juga Otto Djaja dapat kenal baik dengan Pak Harto (Presiden Soeharto), yang dulu pun ikut PETA. Berarti kan dia telah sadar bahwa dia bakal dipersiapkan Perang Asia Timur Raya,” lanjut Aminuddin.
Diskusi "Hidup dan Karya Djaja Bersaudara” di pendopo Museum Multatuli, Rangkasbitung (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
Pasca-proklamasi, dua-duanya meleburkan diri ke dalam Divisi Siliwangi. “Bahkan hingga 1946 Otto Djaja telah berpangkat mayor. Kalau diteruskan dapat jadi jenderal dia. Tapi kan dia di tahun 1946 tersebut pilih resign dan pulang jadi seniman lukis. Lantas mereka berdua berangkat ke Belanda dengan beasiswa Malino dari Belanda,” sambungnya.
Inge-Marie Holst dalam Dunia Sang Otto Djaja: 1916-2002 mengungkapkan, pertolongan dana (beasiswa) Malino adalahhasil Konferensi Malino 16-24 Juli 1946, konferensi di mana Gubernur-Jenderal Hubertus van Mook melobi Perdana Menteri Sutan Sjahrir di Sulawesi. Di samping upaya pembentukan negara federal, konferensi tersebut merilis keikhlasan Belanda mengongkosi para pelajar Indonesia belajar sekian banyak macam ilmu pengetahuan di Belanda.
Djaja Bersaudara, yang sejumlah lukisan mereka dibeli Van Mook ketika pameran di Jakarta, 20 Februari 1947, tergolong yang mendapatkannya. Bersama sebanyak mahasiswa lain, maka dua-duanya berangkat ke Negeri Tulip meski dirasakan pengkhianat.
“Mereka diolok-olok sebagai pengkhianat. Padahal di Indonesia masih masa revolusi, mereka justeru pergi ke Belanda. Semasa revolusi kan juga nyaris tidak ada daftar tentang mereka. Dalam satu majalah seni, mereka dirasakan antek Van Mook,” ujar Aminuddin.
Djaja Bersaudara Memata-matai Belanda?
Namun, pandangan bertolak belakang disuarakan Amir Sidharta, kurator Istana Kepresidenan dan Museum Universitas Pelita Harapan yang turut jadi penceramah di diskusi itu. Menurutnya, kecaman-kecaman pedas untuk Djaja bersaudara justru dipercayai hanya “taktik pengalihan saja”. Djaja Bersaudara diikutkan dalam Beasiswa Malino via restu Presiden Sukarno yang memberi tujuan khusus: memata-matai Belanda.
Beberapa Piagam Penghargaan dari Kementerian Pertahanan berhubungan Peran Agus Djaja di Masa Perjuangan
“Memang kalau dokumentasi atau dokumennya tidak ada sebab masalahnya kan tentu rahasia dan tidak umum. Atau barangkali sengaja terdapat yang mencatat (di media masa itu) guna mengecam mereka supaya seolah-olah mereka berkhianat pada republik. Ya supaya di Belanda mereka pun tidak dicurigai,” kata Amir.
Keyakinan Amir berangkat dari temuan pelbagai lampiran piagam dari Kementerian Pertahanan RI di kitab Agus Djaja dan Sejarah Seni Lukis Indonesia karya Solichin Salam. “Salah satu piagam melafalkan penghargaan atas perannya dalam intelligent service sebagai perwira (Divisi) Siliwangi berhubungan Agresi I (Aksi Militer Belanda terhadap Indonesia, 21 Juli 1947). Dan ini penghargaan khusus, bukan laksana pada lazimnya veteran pejuang lain,” jelasnya.
Amir pun memperkuat pandangannya dengan menanyakan langsung untuk Otto Djaja pada 2002. “Waktu ketemu Pak Otto, pun dia bilang dia ditugaskan ke Belanda (via beasiswa Malino) sebagai mata-mata oleh Bung Karno.” tambahnya.
Piagam-Piagam Agus Djaja dari Kementerian Pertahanan dan Kodam III Siliwangi atas Perannya dalam "Intelligent Service"
Otto memang menceritakan lebih dalam mengenai apa dan bagaimana pekerjaan telik sandinya bareng Agus Djaja di Belanda. “Sepertinya memang terdapat sesuatu yang lebih spesifik dan meyakinkan mengenai penugasan dan keterlibatan beliau di Belanda. Soal bagaimana memata-matainya, beliau sayangnya tak bercerita lebih detail ketika itu. Tapi ini menjadi bukti, meski mereka di Belanda-pun, tetap dirasakan berjuang,” tandasnya.