INI LAH CIKAL BAKAL ANGKOT DI INDONESIA

Oplet, dari perangkat perjuangan selesai jadi barang pajangan.
Hendaru Tri Hanggoro
2 hari lalu, 05:44


SEBUAH oplet berwarna biru dengan tidak banyak garis hitam memanjang di unsur kap mesin meringkuk di ingatan tidak sedikit orang Indonesia. Oplet ini hadir di sinetron laris berjudul Si Doel Anak Sekolahan pada dasawarsa 1990-an. Umurnya sudah lanjut. Hampir setua dengan pemiliknya di sinetron.




Benyamin Sueb, aktor kawakan, berperan sebagai empunya oplet di sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Dalam sebuah episode, dia pernah bilang bahwa opletnya berasal dari zaman Jepang. “Ini oplet dari zaman Jepang belum pernah ditubruk. Kalau nubruk, emang sering,” begitu katanya dengan nada kocak.

Celetukan Benyamin terdapat benarnya sekaligus terdapat pula salahnya. Oplet Si Doel memang berusia tua. Tapi tidak berasal dari zaman Jepang. Oplet itu produksi pabrik mobil Morris asal Inggris. Ia bertipe Morris Minor Traveler 100 keluaran 1950-an. “Oplet model begini masuk ke Jakarta pada 1960-an,” kata Ahmad Mathar Kamal, penulis kitab Colek Cemplung Cerita yang Tercecer dari Tanah Betawi.

Mengenai titik awal kapan kendaraan tersebut beroperasi di Indonesia dan mengapa mempunyai nama oplet, Ahmad Mathar menyatakan belum dapat penjelasan pasti. “Saya tidak tahu semenjak kapan orang sini sebut oplet,” lanjut Bang Mathar, sapaan akrabnya.

Alat Perjuangan

Mona Lohanda, sejarawan dan arsiparis terkemuka Indonesia, menyatakan kemunculan oplet bertalian erat dengan keperluan transportasi masyarakat kolonial di kota besar laksana Batavia. Kebutuhan tersebut terpenuhi oleh sepeda dan mobil. Sepeda guna jarak dekat, sementara mobil guna jarak jauh.

“Sejak tahun 1920-an jumlah mobil di Batavia mengindikasikan angka yang bertambah pesat,” ungkap Mona Lohanda dalam Para Pembesar Mengatur Batavia. Saat bersamaan, keperluan warga kota terhadap angkutan umum pun meninggi. Orang kota perlahan meninggalkan angkutan umum bertenaga fauna seperti sado dan delman guna transportasi dalam kota.

Trem listrik mulai melayani penduduk kota. Di samping itu, terdapat pula angkutan umum berukuran lebih kecil dengan empat ban. “Pada selama tahun 1935-an tersebut muncul pula jenis angkutan mobil penumpang yang dinamakan autolettes, yang oleh orang Betawi dinamakan oplet,” catat Mona.

Baca juga: Menyusuri Jejak Trem

Keterangan Mona sejalan dengan riset H.W. Dick mengenai angkutan umum kota dan kemunculannya di sebanyak kota besar Indonesia laksana Batavia, Malang, dan Surabaya. “Kendaraan angkutan kecil yang terdahulu muncul di Jakarta pada mula tahun 1930-an berlangsung sejurusan dengan trem Tanah Abang-Kota,” tulis Dick dalam “Angkutan Umum Kota dan Partisipasi Pribumi”, termuat di Prisma, No. 4, April 1981.

Angkutan umum berukuran kecil tersebut mampu menampung 6-8 penumpang. Pelayanannya lebih cepat dan ongkosnya pun sedikit lebih tinggi daripada trem. Kebanyakan mobilnya produksi Eropa dan tidak diimpor jadi untuk keperluan angkutan umum.

Ada tangan-tangan kreatif pengubah mobil tersebut. “Sasis mobil diolah dengan ekstra kabin kayu di belakang sopir… Kendaraan gubahan ini lantas dikenal sebagai otolet, atau mengekor merek sedan Jerman, opelet,” tulis Dick.

Bentuk oplet-oplet tersebut tersua dalam Greetings From Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950. Oplet-oplet di Batavia mempunyai pintu penumpang di unsur belakang. Badannya sarat dengan iklan. Jendelanya tanpa kaca. Sopirnya kelihatan berfisik seperti warga tempatan.

Tjokropranolo, Gubernur Jakarta 1977-1982, bilang bahwa oplet sempat jadi pelarian kaum nasionalis. Mereka memilih jadi sopir oplet ketimbang mesti bekerja sebagai pegawai Belanda. “Riwayat oplet tumbuh dalam proses perjuangan,” kata Tjokropranolo dalam Kompas, 18 September 1980. Tapi peran oplet sebagai perangkat perjuangan menghilang pada masa Jepang. Sebab Jepang menghentikan izin operasinya.

Oplet kembali muncul di Jakarta pada masa kemerdekaan. “Sesudah Jepang menyerah, terdahulu kendaraan militer Jepang dan lantas Jeep Willys Amerika diolah dengan teknik yang sama,” tulis H.W. Dick.