ASAL USUL KEN AROK

SUATU HARI, Batara Brahma menyetubuhi Ken Endok di Tegal Lalateng. Dia lantas melarang Ken Endok bersetubuh dengan suaminya, Gajahpara. Jika dilakukan, suaminya bakal mati sebab bercampur dengan anak di rahim Ken Endok.






“Nama dari anakku tersebut Ken Angrok. Dialah yang besok membawa evolusi besar di Pulau Jawa,” ujar sang dewa.

Begitulah Serat Pararaton menulis nama figur Ken Angrok dan asal usulnya. Padahal, sekitar ini penyebutan yang lazim di masyarakat ialah Ken Arok. Lalu siapa nama sebetulnya tokoh pendiri Kerajaan Singhasari itu?

Sejarawan Suwardono menyatakan sohornya nama Arok dampak banyaknya karya-karya tertulis yang memakai namanya. Dalam Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok, dia menyinggung salah satunya bersumber pada nama yang dilafalkan judul alih aksara Pararaton karya Brandes dalam VGB, vol. LXII (1920), “Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”. Lalu pun dari penyebutan nama dalam Kidung Serat Arok koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta.

“Karya sejarah lantas yang merundingkan tentang Kerajaan Singhasari, khususnya yang bersumber pada rujukan Brandes dan kidung itu, terdapat yang masih memakai istilah ‘Ken Arok’,” jelasnya.

Bernard H.M Vlekke pun menyebutnya dengan nama Ken Arok dalam karyanya Nusantara: Sejarah Indonesia (1959). Lainnya hadir dalam karya Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia (2006). Malah dalam ulasan soal Kerajaan Singhasari, Munoz menyinggung namanya jadi Ken Anggrok.

Suwardono menduga, penyebutan itu dampak beberapa kemungkinan. Bisa sebab mereka tak paham bahasa Indonesia atau kata Jawa. Bisa pun salah cetak dalam proses penerbitan. Kalau tidak, penyebutan nama tersebut terucap menurut keterangan dari aksen bahasa ibu si pengarang.

Namun, versi tersebut kian diterima lewat karya-karya populer, laksana novel dan film. Misalnya Arok Dedes (1999) karya Pramoedya Ananta Toer dan film Ken Arok Ken Dedes yang diperankan Eva Arnaz dan George Rudy pada 1983.

Baca juga: Ken Angrok di Layar Perak

Sementara itu, minimal dalam terjemahan naskah Pararaton yang diterjemahkan JLA. Brandes sampai Padmapuspita, dan bahkan oleh Agung Kriswanto tokoh tersebut disebut dengan nama Ken Angrok. Dalam naskahnya, sebenarnya yang tertulis ialah kata aŋrok. Setelah aksara "a" ada anuswara "ŋ" yang mesti dibaca "ng".

“Dengan demikian di sini dipakai nama yang cocok dengan apa yang dinamakan dalam naskah yang berhuruf Bali itu, yakni Ken Aŋrok,” jelas Suwardono ketika didatangi di rumahnya, di Malang.

Dari segi bahasa, Suwardono mengulas kata Ken Arok berasal dari Ken dan Arok. Ken adalahpartikel di depan kata benda, dalam urusan ini nama seseorang, yang merujuk pada orang berpangkat. Sementara dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia yang dibentuk L. Mardiwarsito, Ken ditafsirkan sebagai “pembesar, putra atau putri raja, atau gelar.” Adapun Wojowasito dalam Kamus Kawi-Indonesia mengartikannya sebagai “putri atau putra raja.”

Dwi Cahyono, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, menerangkan, orang yang bergelar Ken bukan berasal dari kasta sudra. Mestinya mereka berkasta ksatria.

“Ken tersebut samdi dalam ki-an jadi ken dari kata ki-an. Dari raki-an jadi rakryan. Leluhurnya kan pun ada Ken Endok. Ini petunjuk,” kata arkeolog tersebut ketika didatangi di Malang.

Lalu Arok, akar katanya ialah rok. Dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia versi P.J. Zoetmulder, kata ini dengan kata lain “terkumpulkan, dibaur bersama, campuran, kombinasi, disatukan, menyatu dengan, mulai berkelahi.” Sementara versi Mardiwarsito, dengan kata lain “bergulat, menjadi kacau.” Versi Wojowasito, mengartikannya dengan “berkelahi, bercampur, mengguncang-guncang.”

Sementara Angrok adalahkata kerja Jawa Kuno. Poerwadarminta mengartikannya dengan “menyerang, menempuh.” Sementara Zoetmulder mengartikannya dengan “mencampur, menjadikan satu, menyerang dengan mati-matian.”

“Dari simpulan kedua kamus tersebut didapat makna nama yang sama, yakni menyerbu atau menyerang,” kata Suwardono.

Hal tersebut memang nyaris sama artinya dengan tafsiran kata arok dalam kamus Mardiwarsito, Wojowasito, dan Zoetmulder. Namun, kata Suwardono, akar kata rok yang berarti serbu atau serang, andai diberi awalan kata kerja aktif "a", akan pulang menjadi angrok bukannya arok.

“Aturan tata bahasa Jawa Kuno yang menilai bahwa prefiks ‘a’ yang digunakan di depan kata dengan konsonan g, j, d, dh, r, l, dan h bakal selalu memakai nasal atau bunyi sengau, ‘ng’. Maknanya lebih mengaku tindakan, laku, kerja, atau aktivitas,” jelasnya.

Contohnya, kata doh dengan kata lain jarak atau jauh. Jika diberi prefiks "a", menjadi adoh, dengan kata lain jauh. Tapi bila diberi awalan "a" yang bernasal dan menjadi angdoh dengan kata lain menjauh.

Begitu pun kata arok. Ia dapat ditafsirkan “yang diserbu atau yang diserang.” Sementara angrok dengan kata lain “yang menyerbu atau yang menyerang.”

“Nama pendiri Kerajaan Singhasari tersebut yang benar cocok dengan hukum tata bahasa Jawa Kuno dan teks naskah Pararaton ialah Angrok,” tegas Suwardono.

Makna yang sama dapat juga dilihat dari segi tabiat Ken Angrok yang diceritakan dalam Pararaton. Sejak muda hingga menjadi akuwu sampai raja Tumapel, semuanya dia dapatkan dengan jalan menyerbu dan menyerang.

Menariknya, saat Angrok menjadi raja di Tumapel menggunakan gelar abhiseka Sri Rajasa. Kata rajasa berasal dari bahasa Sanskerta. Mardiwarsito mengartikannya “dengan paksaan, dengan tekanan, perkosaan.” Sementara Poerwadarminta mengartikannya sebagai “merayu dan merajuk.” Zoetmulder menafsirkan kata rajasa dengan sifat rajas atau “sifat sarat nafsu, bergairah, semangat, birahi, prajurit yang gigih.” Wojowasito menyerahkan artian “penuh, meluap, mengalahkan, merebut, dan merampas.”

“Mencermati definisi itu,” kata Suwardono, “dapat dicerna bahwa kata rajasa sebetulnya merupakan format penghalusan dari kata Angrok.”

Karena itu, menurut keterangan dari Suwardono, tak butuh sangsi pada penjelasan di Pararaton maupun di Nagarakrtagama soal figur Angrok. Pararaton menyinggung nama Ken Angrok sebagai raja Tumapel yang kesatu. Gelarnya, Sri Rajasa Batara sang Amurwabhumi. Sementara, tanpa menyinggung nama Angrok, Nagarakrtagama tetap menimbulkan nama Sri Ranggah Rajasa sebagai raja Tumapel yang kesatu.

“Keduanya tak butuh disangsikan kebenarannya, sebagai yang dimaksudkan oleh kedua sumber tersebut menunjuk pada satu orang, Ken Angrok,” tegas suwardono.

Kendati dalam Pararaton, nama Ken Angrok dikisahkan telah disandang semenjak lahir, nama itu diperkirakan bukan nama aslinya. Berdasarkan keterangan dari Suwardono agak janggal andai nama asli telah menyandang gelar ken. Seharusnya disandang oleh seseorang yang telah punya jabatan.

Dengan begitu dalam Pararaton pun, yang sekitar ini memuat cerita terlengkap mengenai tokoh legendaris itu, tak merekam nama pribumi Angrok. “Artinya, baik kalangan masyarakat maupun kalangan keraton tak terdapat yang tahu nama aslinya, atau memang sengaja mengubur nama aslinya,” ucap Suwardono.