Sri Aji Jayabaya adalah raja keempat di Panjalu. Masa pemerintahaannya adalah puncak kejayaan Kerajaan Kadiri karena berhasil mempersatukan kembali Panjalu dan Jenggala.
Di masa pemerintahannya ekonomi berkembang pesat, demikian pula dengan perkembangan intelektual yang ditandai dengan munculnya sastrawan-sastrawan seperti Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menggubah Kakawin Bharatayudda.
Di masa pemerintahannya ekonomi berkembang pesat, demikian pula dengan perkembangan intelektual yang ditandai dengan munculnya sastrawan-sastrawan seperti Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menggubah Kakawin Bharatayudda.
Bahkan kemudian Jayabaya juga dikenal sebagai Nostradamus-nya orang Jawa karena orang mengingatnya sebagai raja sakti yang mengeluarkan ramalan tentang Nusantara jauh di masa depan.
Karena itulah orang Jawa selalu mengingat Jangka Jayabaya atau Ramalan Jayabaya, walaupun sebenarnya tulisan-tulisan mengenai ramalan Jayabaya sebenarnya baru dituliskan pada tahun 1618M oleh Sunan Giri ke 3 dengan judul Kitab Musarar.
Karena itulah orang Jawa selalu mengingat Jangka Jayabaya atau Ramalan Jayabaya, walaupun sebenarnya tulisan-tulisan mengenai ramalan Jayabaya sebenarnya baru dituliskan pada tahun 1618M oleh Sunan Giri ke 3 dengan judul Kitab Musarar.
Kembali ke tentang situs Petilasan Pamuksan Sri Aji Jayabaya ini, sesuai dengan asal katanya, pamuksan dapat diartikan sebagai tempat muksa dari Prabu Joyoboyo.
Menurut legenda yang ada, Joyoboyo tidak dikatakan meninggal tetapi Ia muksa yaitu menghilang bersama jasadnya. Dalam pamuksan ni terdapat loka muksa, loka busana dan loka makuta. Masyarakat percaya terhadap hal tersebut, karena sampai sekarang jasad Joyoboyo tidak diketemukan.
Menurut legenda yang ada, Joyoboyo tidak dikatakan meninggal tetapi Ia muksa yaitu menghilang bersama jasadnya. Dalam pamuksan ni terdapat loka muksa, loka busana dan loka makuta. Masyarakat percaya terhadap hal tersebut, karena sampai sekarang jasad Joyoboyo tidak diketemukan.
Pamuksan Sri Aji Joyoboyo dipugar pada 22 Februari 1975 dan diresmikan pada 17 April 1976. Loka muksa yaitu tempat muksanya Prabu Joyoboyo. Loka busana adalah tempat busana dari Prabu Joyoboyo, sedang¬kan loka makuta adalah tempat mahkotanya.
Sedangkan Sendang Tirtokamandanu merupakan sendang yang dipakai oleh Joyoboyo sebelum Ia muksa. Tirto berarti air dan kamandanu berarti kehi¬dupan. Jadi Tirtokamandanu dapat diartikan sebagai air kehidupan. Dalam hal ini adalah hidup kembali menjadi seseorang yang suci.
Masyarakat percaya air sendang tersebut mampu mensucikan. Oleh sebab itu, sebelum masyarakat berdoa meminta berkah mereka akan mandi di sendang terlebih dahulu.
Masyarakat percaya air sendang tersebut mampu mensucikan. Oleh sebab itu, sebelum masyarakat berdoa meminta berkah mereka akan mandi di sendang terlebih dahulu.
Sendang Tirtokamandanu dipugar pada tahun 1982. Pemugaran ini diprakarsai oleh Keluarga Besar Hondodenta, Keraton Jogjakarta, yang dikoordinir oleh Sri Sultan HamengkuBuwono VI. Sayangnya, kami tidak sempat berkunjung ke Sendang Tirtokamandanu ini karena keterbatasan waktu.
Mengingat bahwa Joyoboyo adalah tokoh yang sakti, maka banyak masyarakat yang datang ke petilasan untuk meminta berkah. Tidak hanya terbatas pada warga sekitar saja tetapi juga masyarakat luar Kediri. Bagi masyarakat pada umumnya, terdapat empat tempat yang dianggap sakral yaitu loka muksa, loka busana, loka makuta, dan sendang tirtokamandanu.
Loka muksa dianggap sebagai tempat muksanya Prabu Joyoboyo. Loka busana merupakan tempat busana. Loka makuta berarti tempat mahkota. Sedangkan sendang tirtokamandanu merupakan pemandian yang digunakan oleh Joyoboyo sebelum Ia muksa.
Selain dianggap sebagai tokoh yang sakti, Joyoboyo merupakan leluhur dari masyarakat Kediri. Oleh karena itu kepercayaan masyarakat terhadap peti¬lasan pun masih sangat tinggi. Masyarakat selalu menyelenggarakan upacara adat atau ritual khusus sebagai bentuk kepercayaan masyarakat terhadap petilasan. Ritual ini dilaksanakan setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Suro.
Dalam upacara ini biasanya berupa arak-arakan yang dimulai dari balai desa Menang menuju ke loka muksa lalu berakhir di sendang Tirtokamandanu.
Dalam upacara ini biasanya berupa arak-arakan yang dimulai dari balai desa Menang menuju ke loka muksa lalu berakhir di sendang Tirtokamandanu.
Selain sebagai salah satu bentuk sastra lisan, legenda petilasan ini juga sebagai warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Tidak hanya sebagai aset bagi warga masyarakat Menang saja karena telah dipotensikan sebagai tempat wisata daerah Menang. Tetapi juga bagi bangsa Indonesia karena legenda adalah salah satu bentuk khasanan budaya bangsa Indonesia yang harus dilestarikan. Maturnuwun