Bunga yang tumbuh di karang ini, di samping ada di Nusakambangan yang dikeramatkan itu, tidak sedikit pula ada di pulau Karimunjawa, Kepulauan Seribu, Bali dan Madura. Bunga ini berasal dari daratan Amerika Selatan, lantas masuk ke Cina dan baru ke Indonesia di jaman Majapahit. Nah yang menarik, mitosnya pada beberapa masyarakat Jawa, ada keyakinan bahwa barang siapa yang mempu menyaksikan mekarnya bunga Wijayakusuma, maka hidupnya tidak bakal susah.
Berkait erat dengan Kembang Wijayakusuma ini, ada keyakinan yang tak lekang oleh waktu. Iya, bahwa raja Mataram yang baru dinobatkan, tidak bakal sah dinyatakan dunia “kasar” dan “halus”, bila belum sukses memetik bunga Wijayakusuma sebagai pusaka keraton.
Mengapa mesti memetik bunga itu? Tradisi memetik bunga tersebut didasarkan atas kepercayaan, bahwa pohon yang menghasilkan bunga itu ialah jelmaan pusaka keraton Batara Kresna. Batara titisan Wisnu ini kebetulan menjadi Raja Dwarawati. Dalam satu legenda menuliskan, pusaka keraton tersebut dilabuh (dihanyutkan) ke Laut Kidul oleh Kresna, sebelum beliau mangkat ke Swargaloka, di area Nirwana. Pusaka atribut Raja Kresna tersebut setelah dilabuh menjadi pohon di atas batu pulau karang. Letaknya di ujung unsur timur Pulau Nusakambangan di unsur selatan Kota Cilacap.
Dalam tradisi Mataram misalnya, walau tidak terserat namun disetujui oleh mayoritas masyarakat Jawa, bahwa raja-raja Mataram (yang telah dinobatkan) tidak bakal sah dinyatakan dunia “kasar” dan “halus” andai belum memetik bunga Wijayakusuma. Dalam konteks kekinian, urusan ini tersiar sepele. Namun bila direnungkan lagi, ternyata terdapat nilai-nilai tersembunyi di balik kepercayaan itu.
Bahwa seorang raja yang mampu memetik bunga Wijayakusuma, dijamin ia ialah seorang yang mentalnya tergembleng dengan baik. Sebab guna dapat memetik bunga Wijayakusuma dalam suasana mekar, seseorang mesti mempunyai kesabaran tinggi. Bunga Wijayakusuma melulu akan mekar sesaat dan waktunya pada malam hari saja.
Dan mekarnya kelopak bunga misterius ini tidak dapat diduga waktunya. Belum pasti dalam satu tahun bunga ini bakal mekar. Maka, seorang raja yang sukses memetik bunga ini, berarti dia telah melalui penantian yang panjang dengan sarat kesabaran dan perjuangan yang berat. Sebab ia tidak tumbuh disembarang tempat.
Ada sejumlah tempat di Cilacap yang dari zaman Kerajaan Mataram sampai Orde Baru berkuasa, secara rutin disambangi semua petinggi negara, khususnya bila mereka tengah menghadapi permasalahan berat. Tempat-tempat ini paling dikeramatkan. Para pejabat tersebut kadang datang sendiri secara diam-diam, tetapi terkadang mengajak utusan.
Di tempat keramat Jambe Pitu dan Jambe Lima di suatu bukit di Srandil, Kec. Adipala atau selama 15 km arah unsur timur Kota Cilacap, serta Gua Masigit Selo dan Pulau Majeti, Nusakambangan, mereka bersemadi mengharap wahyu yang berisi tuntunan untuk menuntaskan persoaannya. Di pulau Majeti, Nusakambangan berikut bunga Wijayakusuma tumbuh.
Kisah kesaktian bunga Wijayakusuma sendiri terdaftar dalam Babad Tanah Jawa. Tidak melulu raja-raja Mataram yang mesti mendapatkan pusaka itu supaya singgasananya langgeng. Namun sebelumnya, keturunan Majapahit pun menggali bunga ini. Keberadaan bunga Wijayakusuma, kecuali di tempat terpencil dan terjal, juga dipertahankan pasukan gaib yang bermarkas di Jambe Pitu dan Jambe Lima.
Itulah sebabnya, tidak sembarang orang dapat ke sana, lagipula mendapatkan bunga itu. Hanya orang-orang tertentu dan memiliki keunggulan khusus yang dapat mendapatkannya. Pada jaman raja-raja Mataram dulu, untuk dapat memperoleh bunga Wijayakusuma ini mesti memenuhi sejumlah persyaratan.
Konon, Jaman dahulu kala di wilayah Jawa Timur (Kediri) terdapat MahaRaja yang menyandang gelar Prabu Aji Pramosa. Raja itu mempunyai watak keras, beliau pantang tunduk untuk siapapun. Raja itu tidak suka masing-masing ada orang di negaranya yang kelihatan menonjol atau memiliki pengaruh. Petugas sandi (intel) Kerajaan disebarkan di masing-masing penjuru kerajaan dan kesudahannya ada laporan bahwa di dalam kerajaan itu ada “Resi” yang telah terkenal sebab kesaktiannya. Resi tersebut mempunyai nama Resi Kano, yang bergelar “Kyai jamur”.
Kesaktian Kyai Jamur akhirnya tersiar di telinga Raja. Raja Prabu Aji Pramosa paling bingung bila berkeinginan menangkap rakyat yang tidak punya salah tersebut harus terdapat buktinya. Akhire raja mengundang Patih Hulubalang, Senapati dan pejabat utama kerajaan tujuannya mencari teknik untuk menanggulangi Resi digdaya tersebut. Setelah mendapat saran dari pajabat kerajaan, raja langsung menyimpulkan : Bagi mengawal keselamatan kerajaan dan raja, Kyai Jamur mesti diusir dari kerajaan atau dibunuh sekalian, laksana itulah titah sang raja.
Berita rencana raja itu cepat tersebar, akhirnya pun terdengar oleh Kyai Jamur. Beliau menyimpulkan sebelum duta kerajaan tiba, beliau mesti melampaui meninggalkan negeri itu.
Mendengar bahwa Kyai Jamur telah tidak terdapat di tempatnya, sang Aji Pramosa tambah jengkel, Raja terus menyerahkan perintah untuk “punggawa” kerajaan supaya mengejar dan menciduk Kyai Jamur, Resi mesti dipenjara. Sebagai dalil Raja, Resi dirasakan salah sebab pergi tanpa izin untuk raja. Sang Resi berlangsung terus sepanjang pantai laut unsur selatan yang akhirnya hingga pada lokasi yang mempunyai nama Cilacap, Resi merasa bahwa Cilacap sepertinya wilayah yang aman sebagai persembunyian dari pengawasannya Raja.
Raja tidak pernah berhenti menggali dan memburu Sang Resi pokoknya mesti tertangkap. Sesudah ditelusuri kemana-mana kesudahannya Raja mengejar persembunyian Resi. Aji Pramosa dan pasukannya sampai saat waktu Resi bertapa, memahami Resi sedang bertapa tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Sang Resi langsung di bekuk terus dibunuh. Tapi sebab Sang Resi ialah orang digdaya mandraguna jasadnya menghilang (moksa, .Jawa). Raja menjadi heran bercampur ketakutan. Belum hilang ketakutannya, Raja diciptakan kaget lagi dengan adanya suara gemuruh angin rebut di tengah laut.
Aji Pramosa berjuang tetap tenang menghadapi sekian banyak peristiwa yang mencekam itu. Suara gemuruh dan anginpun reda, tetapi pada ketika yang sama datanglah seekor naga besar mendesis-desis seolah-olah berkeinginan melahap Aji Pramosa. Gelombang laut menjadi besar bergulung-gulung, hingga tidak sedikit penyu (kura-kura) menepi ke tepi pantai. Pantai tersebut dikemudian hari dinamakan Pantai Telur Penyu. Dengan sigapnya sang Aji Pramosa segera mencungkil anak panahnya, ternyata tepat tentang sasaran, perut nagapun robek terpapar panah dan naga hilang tergulung ombak.
Rupanya naga tadi jelmaan dari seorang putri cantik yang hadir dengan tiba-tiba seraya berlarian di atas gulungan ombak dari arah unsur timur pulau Nusakambangan. Sang putri ayu mendekat Aji Pramosa sembari menyampaikan terima kasih sebab berkat panahnya ia dapat menjelma berubah menjadi manusia. Sebagai rasa terima kasih, putri cantik tadi menghaturkan bunga Wijayakusuma untuk sang Aji Pramosa. Sang putri menuliskan “Kembang Wijayakusuma tidak mungkin dapat diperoleh dari alam biasa, barang siapa mempunyai kembang itu akan menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa”.
Selanjutnya putri cantik mengenalkan diri, namanya Dewi Wasowati. la berpesan, besok pulau ini akan mempunyai nama Nusa Kembangan. Nusa dengan kata lain pulau dan Kembangan dengan kata lain bunga. Seiring peralihan jaman, nama Nusa Kembangan akhirnya pulang menjadi Nusakambangan. Prabu Aji Pramosa paling girang hatinya menerima hadiah kembang itu, lantas dengan tergesa-gesa ia mengayuh dayungnya guna kembali mengarah ke daratan Cilacap, tetapi sebab terlalu gugup dan tidak cukup hati-hati, kembang tersebut jatuh ke laut dan hilang tergulung ombak, dengan paling menyesal sang Aji Pramosa kembali tanpa membawa kembang.
Beberapa lama sesudah sang Prabu sedang di kerajaan, terbetik berita bahwa di pulau karang dekat Nusakambangan tumbuh suatu pohon mengherankan dan ajaib, beliau pun hendak menyaksikan pohon mengherankan yang tidak berbuah tersebut dan ternyata benar bahwa pohon tersebut tidak lain ialah Cangkok Wijaya Kusuma yang ia terima dari Dewi Wasowati. Melihat pohon itu, sang Aji Pramosa terkenang akan ucapan-ucapan Dewi Wasowati bahwa siapa yang mendapat kembang Wijayakusuma bakal menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
Peristiwa terjadinya kembang Wijaykusuma pada jaman Prabu Aji Pramosa dari Kediri tersebut setelah bertahun-tahun memunculkan kepercayaan untuk raja-raja di Surakarta dan Yogyakarta. Berdasarkan keterangan dari cerita, masing-masing ada penobatan raja baik Susuhunan Surakarta maupun Kesultanan di Yogyakarta mengirim duta 40 orang ke Nusakambangan guna memetik kembang Wijayakusuma.
Sebelum mengerjakan tugas pemetikan, semua utusan tersebut melakukan ziarah ke makam-makam figur leluhur di dekat Nusakambangan laksana pasarehan Adipati Banjaransari di Karangsuci, Adipati Wiling di Donan, Adipati Purbasari di Dhaunlumbung, Kyai Singalodra di Kebon Baru dan Panembahan Tlecer di Nusakambangan. Tempat beda yang pun diziarahi yakni pasarehan Kyai Ageng Wanakusuma di Gilirangan dan Kyai Khasan Besari di Gumelem (Banjarnegara).
Di samping ziarah atau nyekar, mereka mengerjakan tahlilan dan sedekah untuk fakir miskin. Malam berikutnya “nepi” (bermalam) di Masjid Sela. Masjid Sela ialah sebuah gua di pulau Nusakambangan yang serupa Masjid. Pemetikan kembang Wijayakusuma juga dilaksanakan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono XI, yaitu ketika Sunan Pakubuwono XI baru “jumenengan” (dinobatkan sebagai raja).
Bahkan adat leluhur ini konon sudah dilaksanakan jauh sebelum itu. Berdasarkan keterangan dari Babad Tanah Jawi, Adipati Anom, Sunan Amangkurat II pernah mengirim utusan guna memetik kembang Wijayakusuma, yaitu sesudah ia rnenobatkan dirinya sebagai raja Mataram menggantikan ayahandanya. Berdasarkan keterangan dari seorang sejarawan Belanda H.J. de Graaf, peristiwa jumenengan tersebut dilakukan di Ajibarang pada tanggal 7 Juli 1677 dalam perjalanannya ke Batavia saat diburu Trunojoyo.
Berdasarkan keterangan dari keterangan, teknik memetik bunga Wijayakusuma tidak dengan tangan namun dengan teknik gaib melewati semadi. Sebelumnya semua utusan raja mengerjakan upacara “melabuh" (sedekah laut) di tengah laut dekat pulau Karang Bandung. Sebelum dipetik, pohon itu dibungkus terlebih dahulu dengan cinde hingga ke atas. Dengan berpakaian serba putih utusan tersebut bersemadi di bawahnya, andai memang semedinya terkabul, kembang Wijayakusuma bakal mekar dan menerbitkan bau harum.
Kemudian bunga tersebut jatuh dengan sendirinya ke dalam kendaga yang telah dipersiapkan. Selanjutnya kembang itu dibawa semua utusan ke Kraton guna dihaturkan ke Sri Susuhunan / Sri Sultan. Penyerahan tersebut pun dilaksanakan dengan upacara tertentu, konon kembang itu diciptakan sebagai rujak dan dicicipi raja yang berkeinginan dinobatkan, dengan demikian raja dirasakan syah dan bisa mewariskan tahta kerajaan untuk anak cucu serta keturunannya.
Mitos mengenai kembang Wijayakusuma ini sangat dominan pada kehidupan nelayan di pantai selatan. Ada sejenis ikan yang mereka keramatkan yakni ikan Dawah (dawah dengan kata lain jatuh). Ikan ini dirasakan jelmaan dari daun pohon Wijayakusuma yang berjatuhan di laut. Para nelayan tersebut sangat berpantang memakan ikan Dawah, mereka fobia mendapat bencana atau malapetaka. Umumnya mereka menampik rezeki Tuhan yang satu ini sebenarnya dagingnya lunak dan rasanya lezat. Pengaruh Mitos ini pun melahirkan upacara kebiasaan sedekah laut yang dilakukan setiap bulan Sura, mereka melarung rezekinya ke laut pantai selatan. Nuwun.
Referensi :
Babad Tanah Jawa