Untuk menelisik rasa penasaran dalam rangka menumbuhkan cinta kepada auliya' yang majdzub semacam Mbah Fanani, menulis laporan ini, hasil wawancara dengan Mas Afa (nama panggilan narasumber) pada Jumat dini hari, 14 April 2017.
Kata Afa, sebelum Mbah Fanani pindah tempat bertapa ke Dieng, beliau pernah bertapa selama tiga bulan di depan mushalla Kiai Nuruddin bin Ahmad, Blok BOR Desa Jagapura Lor Kecamatan Gegesik Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
"Setahu saya, hasil obrolan uwak saya yang sama-sama majdzub, beliau (Mbah Fanani) terakhir meninggalkan kampung saya itu tahun 1982," kata Mas Afa yang masih keluarga besar Pesantren tertua di Cirebon, yakni Benda Kerep.
Cerita pindahnya Mbah Fanani tahun itu didapatkan Afa dari keluarga besarnya pada tahun 2011. Namun, setelah tiga bulan di Jagapura, Mbah Fanani kemudian diusir ramai-ramai oleh para kiai kampung dan para santri hingga sekitar tiga kilo sampai perbatasan desa, "termasuk kakek saya," ujarnya.
Pengusiran itu, lanjutnya, bukan karena benci wali Allah namun karena dianggap akan membahayakan orang-orang awam sudah banyak meminta doa dan hajat masing-masing, "dikuatirkan jadi sesembahan," tambah Afa
Setelah diusir, tidak ada kelanjutan ceritanya hingga akhirnya mendengar kabar kalau Mbah Fanani sudah ada di Dieng. Dulu, sebelum ke Dieng, Mbah Fanani populer dengan sebutan Mbah Jenggi.
Bahkan nama itu sudah dikenal sejak masih bertapa di daerah pesisir Sambilempeng, Cimalaya, Karawang, Jawa Barat.
Menurut penuturan warga Cimalaya, Mbah Jenggi juga sudah puluhan tahun bertapa di daerah tersebut. Sampai sekarang, tempat pertapaan beliau masih dikeramatkan orang sekitar Karawang, "dikasih pagar, dilingkarin, dikasih pathok kayak kuburan atau petilasan," tutur Afa.
Menurut penuturan Afa, Mbah Fanani atau Mbah Jenggi masih keturunan pesantren Benda Kerep, yakni pesantren tertua Cirebon yang didirikan oleh cucu Sunan Gunung Jati yang dikenal dengan Pangeran Pasarean.
Mbah Jenggi, masih kata Afa, memiliki putri satu-satunya. "Namanya Ibu Nyai Maryam. Usianya sudah 97 tahun. Suaminya seorang habib. Tinggal di Desa Panembahan Kecamatan Pleret, Cirebon. Deket Pabrik Rusmi," terangnya.
Jadi, usia Mbah Jenggi jelas di atas 100 tahun karena ketika punya anak, beliaunya sudah sepuh. Menurut keterangan yang didapat, Bu Nyai Maryam itu semenjak lahir ditinggal berkelana oleh Mbah Jenggi, dititipkan ke kakek Afa juga.
Cuma, siapa nama orangtua Mbah Jenggi, hingga saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti. Karena itulah, banyak orang yang cinta beliau menyebut kalau usianya sudah di atas 200 tahun. "Beliau ini orang lama," imbuh Afa yang mendapatkan keterangan dari keluarga sepuhnya yang sudah berusia di atas 80 tahun.
Dijemput Mbah Rajab
Kini, Mbah Fanani atau Mbah Jenggi posisinya berada di komplek Makam Pangeran Dampu Awang, Sudimampir, Indramayu. Beliau dijemput oleh rombongan yang mengaku diutus oleh Mbah Rajab, seorang majdzub juga yang sudah 20 tahun bertapa di atas daun panggang yang posisinya berada sumur belakang komplek pesantren Al-Qur'aniyah Desa Dukuh Jati Kecamatan Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat. Hingga sekarang pun masih bertapa.
Kini, Mbah Fanani atau Mbah Jenggi posisinya berada di komplek Makam Pangeran Dampu Awang, Sudimampir, Indramayu. Beliau dijemput oleh rombongan yang mengaku diutus oleh Mbah Rajab, seorang majdzub juga yang sudah 20 tahun bertapa di atas daun panggang yang posisinya berada sumur belakang komplek pesantren Al-Qur'aniyah Desa Dukuh Jati Kecamatan Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat. Hingga sekarang pun masih bertapa.
Namun, pada malam penjemputan Mbah Jenggi di Dieng, menurut penuturan Pak Ono, -pemilik rumah yang digunakan bertapa Mbah Jenggi,- ada orang tua (Mbah Rajab) yang juga ikut menjemput dalam rombongan. Dan Toha, yang mengaku sebagai anak (suson) Mbah Rajab, juga hadir ikut dalam penjemputan.
Dalam pertapaan itu, kata Afa, setiap hari Mbah Rajab berdzikir "La ilaha Illa Allah Astaghfirullah". Hingga saking kerasnya dzikir, orang-orang menyebutkan seperti sedang berteriak. Keterangan yang didapatkan Mbah Rajab itu aslinya dari Wonosobo.
Jika beliau menjemput Mbah Jenggi di Dieng, bagi Afa yang punya teman dan kerabat yang sama-sama majdzub, itu hal wajar.
"O, yawes iku bolone, berarti ada sesuatu yang penting," begitu jawaban yang diperoleh Afa ketika menanyakan "hilangnya" Mbah Jenggi kepada salah satu saudaranya yang tahu siapa Mbah Rajab dan Mbah Jenggi.
Menurut keterangan yang dihimpun keluarga Mbah Jenggi, yakni anak cucunya dari Bu Nyai Maryam, tidak ada yang tahu dan tidak dikonfirmasi juga soal penjemputan dari Dieng itu, "justru keluarga agak sedih, ini pertanda apa, karena keluarga berkali-kali jemput tidak pernah berhasil dan kali ini beliau mau ikut, kalau terbawa berarti kan mau," tandas Afa yang juga menyatakan beberapa tahun lalu keluarga pernah dilobi Mbah Rajab menjemput Mbah Fanani di Dieng namun menolak karena alasan tidak mau mengganggu tugas beliau.
Sehat selalu Mbah Fanani di Indramayu. Di manapun Anda berada, tugas jenengan sangat mulia menjaga alam ini. Di Dieng. Mbah Fanani tidak hanya diam. Puluhan tahun di sana, mulut mulianya tidak pernah lepas dari dzikir. Beliau sibuk mengingat Allah hingga urusan dunia diserahkan kepada orang lain yang mau membantu.
Beliau itu memiliki karomah. Walau mau makan dari suguhan yang beliau ridlai memberi makan, namun tidak mengeluarkan kotoran di tempat pertapaan. Orang yang ahli biologi akan bingung dengan fakta ini. Katanya, semua sari makanan menguap jadi keringat hingga membuat kulit beliau tetap segar, wajahnya juga tetap bersinar.
Berkah melimpah kepada yang mencintai dan membantu tugas beliau menjaga alam sesuai wilayahnya. Dan, menurut keterangan yang beredar, Mbah Fanani akan menyelesaikan tugas hingga tanah Jawa ini dipisahkan oleh lautan. Entah kapan, wallahu a'lam. [dutaislam.com/ab]